“Selamat, anakku. Satu wisuda kau lewati. Semoga bisa amanah
dengan tanggung jawab ilmu yang kau pegang kini.”
“Apa artinya bagiku, ibu?”
“Kau berhasil menaiki satu anak tangga.”
“Apakah itu berarti aku lebih tinggi? Karena anak tangga membawa
kita ke tempat yang lebih tinggi, kan?”
“Bisa ya, bisa tidak. Bersabarlah untuk memahaminya, nak.”
“Ibu, mungkin aku bisa bersabar. Tapi aku tak tahu bagaimana
cara memahaminya?”
“Jika anak tangga ini membuatmu mampu melihat ke atas, itu
artinya kau masih sangat rendah. Karena masih banyak anak tangga lain di atas
sana. Tapi jika kemudian kau hanya bisa melihat ke bawah, bisa jadi kau merasa
sangat tinggi. Ada banyak ujian yang sudah kau lewati, bukan?”
“Ya, ibu. Tapi aku masih tak mengerti.”
“Ingatlah, nak. Di setiap anak tangga, kau tidak boleh hanya
melihat ke atas atau ke bawah. Lihatlah sekitarmu lalu bersyukurlah.”
“Apakah itu tidak membuatku terlena dan lupa untuk memanjat
lebih tinggi lagi, bu?”
“Kecuali jika kau lupa pada tujuanmu semula.”
“Tidak, bu. Aku tidak
ingin lupa bahwa tangga tertinggi selalu ingin kudaki.”
“Ingatlah, nak. Saat kau merasa tinggi, ada orang lain yang
sejatinya lebih tinggi. Pun ketika kau merasa rendah, sejatinya ada banyak
orang lain yang lebih rendah dari tempatmu berpijak.”
“Apa yang membuat orang lebih tinggi, ibu? Apakah wisuda?”
“Wisuda hanya salah satu tangga, nak. Ada begitu banyak
tangga yang berdiri di dunia ini. Jabatan, pangkat, ilmu, kearifan,
kebijaksanaan, kesombongan, kekayaan, kekuasaan, kepercayaan diri, prestasi,
penampilan, bahkan kealpaan memiliki tangga sendiri. Ada orang-orang yang
menaiki tangga kealpaan, sedikit demi sedikit kesalahan yang dilakukan. Lalu
tanpa introspeksi, tanpa kesempatan untuk menyadari kesalahan, dinaikinya
tangga kealpaan semakin tinggi, membuatnya lupa tanah tempatnya berpijak. Ada
pula orang-orang yang diberi kesempatan menaiki tangga ilmu, satu demi satu
anak tangga dilalui, seperti yang kau lakukan saat ini.”
“Apakah setiap orang hanya memiliki satu anak tangga, ibu?”
“Tidak, nak. Kau bisa menaiki anak tangga lain tanpa harus beranjak dari tangga
yang sedang kau naiki kini. Ya, tentu saja kau harus menggabungkannya dengan
tangga yang sebelumnya kau punya.”
“Ibu, aku tak mengerti.”
“Waktu dan pemahaman akan membuatmu mengerti suatu hari
nanti. Kau hanya perlu mengingat apa yang sudah ibu katakan.”
“Baiklah, ibu. Terima kasih telah menjadi ibu yang baik
untukku.”
“Ini sudah menjadi tugasku, nak. Suatu hari kau harus
menapaki dunia ini sendiri dan kau harus siap. Tugasku adalah menyiapkanmu
melangkah pasti di setiap tapak kaki.”
Mila terbangun, lamat-lamat dalam kepalanya masih terbayang
sosok ibunya menjauh. Hilang ditelan keheningan. Pukul 3 dini hari, ia beranjak
dan mengambil wudhu. Lalu dingin malam mengantarkannya mengadu kepada pemilik
rindu, merayuNya untuk menyampaikan rasa itu kepada Marni, sang ibu.
0 comments:
Post a Comment