Thursday, 6 July 2017

Anak Tangga

| |



“Selamat, anakku. Satu wisuda kau lewati. Semoga bisa amanah dengan tanggung jawab ilmu yang kau pegang kini.”


“Apa artinya bagiku, ibu?”

“Kau berhasil menaiki satu anak tangga.”

“Apakah itu berarti aku lebih tinggi? Karena anak tangga membawa kita ke tempat yang lebih tinggi, kan?”

“Bisa ya, bisa tidak. Bersabarlah untuk memahaminya, nak.”

“Ibu, mungkin aku bisa bersabar. Tapi aku tak tahu bagaimana cara memahaminya?”

“Jika anak tangga ini membuatmu mampu melihat ke atas, itu artinya kau masih sangat rendah. Karena masih banyak anak tangga lain di atas sana. Tapi jika kemudian kau hanya bisa melihat ke bawah, bisa jadi kau merasa sangat tinggi. Ada banyak ujian yang sudah kau lewati, bukan?”

“Ya, ibu. Tapi aku masih tak mengerti.”

“Ingatlah, nak. Di setiap anak tangga, kau tidak boleh hanya melihat ke atas atau ke bawah. Lihatlah sekitarmu lalu bersyukurlah.”

“Apakah itu tidak membuatku terlena dan lupa untuk memanjat lebih tinggi lagi, bu?”

“Kecuali jika kau lupa pada tujuanmu semula.”

“Tidak, bu.  Aku tidak ingin lupa bahwa tangga tertinggi selalu ingin kudaki.”

“Ingatlah, nak. Saat kau merasa tinggi, ada orang lain yang sejatinya lebih tinggi. Pun ketika kau merasa rendah, sejatinya ada banyak orang lain yang lebih rendah dari tempatmu berpijak.”

“Apa yang membuat orang lebih tinggi, ibu? Apakah wisuda?”

“Wisuda hanya salah satu tangga, nak. Ada begitu banyak tangga yang berdiri di dunia ini. Jabatan, pangkat, ilmu, kearifan, kebijaksanaan, kesombongan, kekayaan, kekuasaan, kepercayaan diri, prestasi, penampilan, bahkan kealpaan memiliki tangga sendiri. Ada orang-orang yang menaiki tangga kealpaan, sedikit demi sedikit kesalahan yang dilakukan. Lalu tanpa introspeksi, tanpa kesempatan untuk menyadari kesalahan, dinaikinya tangga kealpaan semakin tinggi, membuatnya lupa tanah tempatnya berpijak. Ada pula orang-orang yang diberi kesempatan menaiki tangga ilmu, satu demi satu anak tangga dilalui, seperti yang kau lakukan saat ini.”

“Apakah setiap orang hanya memiliki satu anak tangga, ibu?”

“Tidak, nak. Kau bisa menaiki anak tangga lain tanpa harus beranjak dari tangga yang sedang kau naiki kini. Ya, tentu saja kau harus menggabungkannya dengan tangga yang sebelumnya kau punya.”


“Ibu, aku tak mengerti.”

“Waktu dan pemahaman akan membuatmu mengerti suatu hari nanti. Kau hanya perlu mengingat apa yang sudah ibu katakan.”

“Baiklah, ibu. Terima kasih telah menjadi ibu yang baik untukku.”

“Ini sudah menjadi tugasku, nak. Suatu hari kau harus menapaki dunia ini sendiri dan kau harus siap. Tugasku adalah menyiapkanmu melangkah pasti di setiap tapak kaki.”


Mila terbangun, lamat-lamat dalam kepalanya masih terbayang sosok ibunya menjauh. Hilang ditelan keheningan. Pukul 3 dini hari, ia beranjak dan mengambil wudhu. Lalu dingin malam mengantarkannya mengadu kepada pemilik rindu, merayuNya untuk menyampaikan rasa itu kepada Marni, sang ibu.

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©