Iqomah
waktu ashar di masjid Ar Rahman sudah beberapa menit yang lalu dikumandangkan.
Jamaah yang terdiri dari beberapa orang sudah mulai shalat, masuk rakaat kedua.
Setelah hari raya, shaf jama’ah masjid kampung ini semakin maju. Ya, karena
para pemudik sudah kembali ke habitat masing-masing. Lingkungan sekitar masjid
tidak banyak penghuni seperti dahulu kala.
Sedikit
kisah tentang Masjid Ar Rahman yang terletak sekitar 100 M dari rumah, berdiri
tepat di samping MI tempatku dulu menghabiskan masa kanak-kanak. Konon, menurut
para sesepuh masjid ini didirikan oleh kakek buyut kami dan menjadi masjid
tertua di desa sekaligus beberapa desa sekitar. Jamaahnya ramai karena belum
banyak masjid berdiri seperti sekarang. Maka jangan heran, masih menurut
cerita, dulu di samping masjid ada pondok yang dihuni anak-anak baik keturunan
mbah buyut maupun anak-anak desa sekitar yang menuntut ilmu sebelum Madrasah
Ibtidaiyah didirikan. Pengajarnya adalah para sesepuh kami yang juga merupakan
santri Ponpes Tambakberas, Tebuireng, atau Rejoso.
Sejak
adanya sekolah yang didirikan atas nama yayasan keluarga besar, pondok hanya
dipakai untuk mengaji kitab suci dan kitab kuning. Pelajaran umum diberikan di
sekolah. Selanjutnya, dari yayasan sekolah ini diserahkan kepada Ormas Muhammadiyah
hingga sekarang. Seiring waktu, para pengajar banyak merantau dan santri
semakin sedikit karena banyak bermunculan tempat belajar baru. Masjid lain juga
banyak didirikan.
Waktu
aku kecil, bangunan yang katanya pondok itu sudah berubah fungsi jadi gudang
kayu dan keranda mayat. Kesan angker menguar dari sana. Pernah waktu kelas 6 MI
aku masak nasi bersama teman-teman untuk acara perpisahan di teras pondok itu,
satu jam lamanya belum masak juga. Padahal normalnya menanak nasi maksimal 30
menit sudah tanak. Sekarang, pondok itu tinggal kenangan. MI Muhammadiyah XI
masih berdiri kokoh. Demikian juga Masjid Ar Rahman. Meskipun ramai jamaah
hanya ketika hari jum’at dan bulan Ramadhan (seperti kebanyakan masjid di
kampung lain), masjid ini tetap terawat dan nyaman digunakan.
Satu
gang tempat masjid ini berdiri adalah anggota keluarga besar kami. Ada sebelas
rumah dengan arsitektur belanda yang berdiri. Ciri khasnya adalah tinggi (butuh
3-4 anak tangga untuk mencapai lantainya dan dinding sekitar 4 meter untuk
mencapai atap) dan berdinding tebal karena disusun dengan dua batu bata di
setiap sisinya. Ukurannya jauh lebih besar dari rumah type 36. Namun tidak
semua berpenghuni. Satu rumah beralih fungsi jadi rumah walet, lima rumah tidak
berpenghuni (dua diantaranya hampir roboh) sehingga tinggal lima rumah yang
dihuni manusia. Menurut para sesepuh, rumah-rumah kosong itu kini dihuni
genderuwo. Hehe
Seperti
sore ini, hanya satu shaf jamaah laki-laki hampir penuh. Jamaah perempuan hanya
ada dua orang, aku dan tetangga yang juga masih “bulik” bagiku. Masuk rakaat
kedua, tidak ada tanda-tanda jamaah bertambah. Tiba-tiba ada bayangan kecil
masuk ke dalam masjid, mengenakan mukena warna orange. Kupikir anak bulik yang
berdiri di sampingku.
Setelah
salam, baru kusadari bahwa gadis kecil yang masbuq
(jamaah terlambat) tadi adalah Malva, gadis kecil uang usianya belum genap
tujuh tahun, tapi tubuhnya masih serupa anak TK karena mungil, tetangga kami
yang tinggal di seberang masjid. Dari rumahku, masjid terletak di ujung pertigaan
arah barat, sebelah kanan jalan. Pertigaan itu mengarah ke tiga jalan, timur
menuju rumahku dan pusat desa, selatan dan utara adalah jalan utama kabupaten,
menghubungkan desa kami dengan kecamatan lain. Rumah Malva terletak di sebelah
barat masjid, seberang jalan kabupaten yang melintang dari selatan ke utara.
Tentu butuh dua kali menyeberang baginya untuk sampai ke masjid.
Usia
mungkin membuatnya paham bahwa ia sudah cukup besar untuk berangkat sendiri ke
masjid, tapi melihat tubuhnya yang mungil dan imut, aku sedikit khawatir dia di
culik di tengah jalan. Kehadirannya dalam shalat jamaah kali ini membuatku malu
karena terkenang cerita ibu.
“Malva
itu sering ke masjid sendiri. Meskipun ngga ada kakak atau orang tuanya, dia
berangkat sendiri. Anaknya pemberani. Tiap dhuhur, ashar dan maghrib biasanya
dia ke masjid. Kalau isya’ sama shubuh mungkin karena belum diizinkan orang
tuanya berangkat sendiri.” Beberapa hari yang lalu ibu bercerita tentang gadis
kecil itu, ketika kutanya siapa yang sering ikut jamaah ke masjid.
Ya,
shalat jamaah ke masjid memang sangat berat bagi sebagian orang. Jangankan yang
rumahnya jauh, yang tinggal beberapa langkah menuju masjidpun tidak selalu
terketuk hatinya untuk segera mengambil wudhu saat adzan berkumandang. Malu rasanya,
jika diri ini kalah semangat dengan Malva kecil, yang selalu semangat datang ke
masjid meski sendirian.
Satu
lagi hal istimewa tentangnya, setelah salam tentu selesailah ritual shalat
kami. Namun Malva sadar, tadi datang terlambat dan harus menambah satu rakaat
yang tertinggal. Dia menunaikannya dengan khusyuk, tanpa main-main sedikitpun
hingga selesai salam. Aku dulu seusianya, apakah sudah se-mengerti itu tentang
bab shalat?
Selain
Malva, ada jamaah anak-anak yang juga rajin ke masjid sejak belia. Syifa’ dan
Daffa mulai dekat dan sering ke masjid sejak TK hingga sekarang kelas 6 SD,
sudah bisa rutin lima waktu ke masjid (jika sedang di rumah), Risma, Rizam,
Nabila, Rizky, juga Farizah yang belum sekolah juga sering ke masjid jika
sedang liburan di rumah kakek-neneknya yang juga takmir masjid ini.
Allah
kariim, semoga kelak aku bisa mendidik anak-anak yang shalih dan shalihah, yang
hatinya terpaut pada masjid sejak belia. Karena dari masjidlah peradaban Islam bisa bangkit, berkembang dan kembali jaya. Siapa lagi yang bisa berperan jika bukan anak-anakpemuda dan penerus generasi umat kita?
0 comments:
Post a Comment