Istimewanya persahabantan, ia bisa dengan
mudah mengubah diri menjadi persaudaraan tanpa syarat. Gratis, tapi bisa jadi
juga menyedot isi rekening. Pernahkah kau mengalaminya? Jika iya, pastikan
engkau termasuk orang-orang beruntung di dunia.
Ya, sahabat adalah anugerah. Menemukannya
adalah karunia sekaligus mutiara dunia. Maka jika sudah menemukannya, jangan
sekalipun berusaha melepas walau sehasta. Masih terekam jelas dalam ingatan,
pertengahan April 2017 adalah salah satu kejutan yang sekali lagi menghapus
satu daftar impian. Kedekatan kami sebelmnya di media sosial membuatku
menuliskan pertemuan nyata dengannya sebagais alah satu impian. Hujan
rintik-rintik turun menemani laju motor yang kunaiki menuju stasiun Tugu
Yogyakarta. Jarum pendek dalam jam di tangan menunjukkan angka tiga. Jadwal
kereta api seseorang yang harus kujemput sebentar lagi tiba. Aku menunggu,
bertanya kepada petugas, mereka bilang belum datang. Syukurlah, tidak
terlambat. Hampir setengah jam menanti, keretanya datang juga.
Aku berusaha mengenali wajah yang selama
ini akrab di daftar akun sosial media diantara ratusan penumpang. Gelombang
penumpang yang melintasi pintu keluar silih berganti. Namun wajah bulat
berkacamata itu tak kunjung kutemukan juga. Aku hampir khawatir dia tak jadi
datang, atau turun di stasiun yang salah?
Ah, belum juga khawatirku sirna, sosok
berjaket hijau dan berkacamata itu tampak menggeret koper dari kejauhan. Aku
lega, rasa khawatir perlahan sirna. Suka cita di hati tak bisa diungkap dengan
kata-kata. Perut mules dibuatnya. Inilah yang terjadi saat diri tak mampu
menampung perasaan berlebih. Terlalu senang, terlalu khawatir, terlalu takut, biasanya
bermuara pada perut. Aku mengabaikannya dan berusaha menetralisir suasana.
Pertemuan pertama itu seolah tanpa kesan, namun terukir nyata dalam hati yang
bahagia luar biasa.
Bahagia itu berhasil mengusir rasa malu
bahkan lelah. Buktinya? Kami bisa membawa satu koper besar dan carrier 19 liter
yang sarat muatan di atas motor (ditambah bobot dua orang dewasa) menuju daerah
kaliurang, mengunjungi teman dan kemudian menuju klinik kopi.
Iya, K L I N I K K O P I Jogja, punya mas
Pepeng si maniak kopi. Tahu, kan? Kalau ngga tahu, tanya aja sama google.
Bayangkan saja, kami ke sana dengan sebuah koper besar dan tas ransel yang
sudah persis orang pindahan. Beruntung, tidak seorangpun bertanya kami baru
diusir sama siapa.
Malu? Engga. Capek? Engga juga. Kok bisa?
Karena kami bahagia.
Setelah itu perjalanan kami masih
berlanjut 1,5 jam naik ke Jogja lantai
dua. Malam penuh bintang menemani syahdunya bahagia tak terkira, mengantar pada
istirahat semalam yang menenangkan.
Pertemuan pertama itulah yang mengantar kami
pada persahabatan yang lebih erat, persaudaraan yang lebih menguatkan, dan
perjalanan yang penuh dengan kejutan. Pertemuan itu menghapus rasa enggan
bercerita, jaim mengungkap rasa, bahkan sungkan untuk menegur kala alpa. Daftar
impian kami masih banyak, tapi kini dapat kami pastikan, bahwa persahabatan dan
persaudaraan yang saling menguatkan mampu mengantar langkah-langkah kecil kami
menghapus satu per satu daftar impian karena sudah berhasil dicapai, lewat
kejutan demi kejutan yang datangs ilih berganti dalam kehidupan kami.
Salam rindu untuk awie
#OneDayOnePost
0 comments:
Post a Comment