Senang campur deg-degan. Entah kenapa
perjalanan ini terasa begitu berkesan, bahkan sebelum kumulai menginjakkan kaki
di jalan. Pagi itu, tanggal 2 Juli 2017, saya berencana mengunjungi mba Hiday
Nur, salah satu awardee LPDP yang sedang menyelesaikan S2 Islamic Studies di
UIN Sunan Ampel Surabaya yang tinggal di Tuban. Pertemuan kami berawal dari
group penulis One Day One Post yang diprakarsai oleh Bang Syaiha. Kemudian
keakraban dalam group dunia maya tersebut berlanjut ke dunia nyata. Ini adalah
pertemuan ketiga kami. Namun rasanya semakin istimewa.
Pertama kali kami bertemu di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta tahun kemarin. Saat itu Mba Hiday ada acara ke Jogja,
sementara saya kuliah dan tinggal di Jogja. Jadilah kami bertemu dan melepas
penasaran. Mengganti perkenalan di dunia maya dengan pertemuan yang mengikat
hati untuk selalu bahagia (#uhuks). Pertemuan kedua kami tercatat di Stadion
Manahan Solo. Bersama dengan anggota ODOP domisili Solo dan sekitarnya, kami
bertemu lagi dalam kesempatan yang lebih meriah. Rasanya bukan lagi hubungan
teman biasa yang terjalin di sana. Tapi sudah terasa seperti saudara dan
keluarga yang lama tak berjumpa.
Pertemuan ketiga, adalah kesempatan saya
untuk mengenal lebih jauh Mba Hiday yang multitalenta. Ya, beliau adalah sosok
salah satu wonder women masa kini. Beberapa profesi yang sekaligus beliau
geluti membuktikan bahwa saya sudah menyebut beliau multitalenta itu bukan
isapan jari. Beliau adalah seorang istri, ibu dari dua anak, guru, penyiar radio,
penulis, mahasiswa, interpreneur, berbakat sebagai psikolog, dan entah profesi
apa lagi yang sangat mungkin belum saya temui di depan mata kepala
sendiri. Banyak sekali, kan profesi
beliau? Nah, pertemuan ke tiga ini (juga selanjutnya) adalah kesempatan
istimewa untuk saya belajar langsung, biar ketularan multitalenta, begitu
ceritanya.
“Pada guru sebenar guru, ada adab yang
tidak bisa ditemui pada buku-buku” (Ibnu Athailah)
Kita memang bisa belajar banyak dari buku.
Membaca buku ibarat membuka jendela dunia dengan ilmu. Kita bisa jalan-jalan ke
Paris, Sorbone, bahkan merasakan dinginnya samudera Arktik lewat buku. Tapi
sungguh, seg=canggih apapun dunia maya tidak ada yang bisa menggantikan dunia
nyata, kesan dan energi positif yang mengalir begitu terasa dalam proses
transfer ilmu yang kita jalani di dunia nyata. Saling menatap mata, melempar
senyum, kemudian berlanjut dengan berbagi cerita dan banyak peristiwa yang
dialami bersama, menyisakan kesan yang terukir abadi dalam hati.
Begitu juga dalam proses belajar. Membaca,
mendengar, atau melihat tidak bisa melampaui 50 persen daya serap kita terhadap
suatu pengetahuan. Namun dengan pertemuan, mengalami dan praktek langsung
dengan melibatkan kelima indera yang kita punya, proses belajar bsia berjalan
dengan jauh lebih sempurna.
Saya berangkat naik bis dari traffic light Sentul (Kec. Tembelang
Kab. Jombang) sekitar jam 8 pagi. Sampai di patung Letda Sucipto Tuban jam
9.30. Perjalanan hanya 1,5 jam, jauh lebih cepat dari perkiraan Mba Hiday
antara 2-2,5 jam. Sopir bis yang saya naiki rupanya berbakat mengikuti racing. Setelah dijemput dan sampai di
rumah beliau dan mencicipi dawet siwalan yang rasanya maknyus, kami diajak
jalan-jalan ke Klenteng Tuban yang konon terbesar se-Asia Tenggara. Setelah itu
beli siwalan (buah lontar) dan kawis. Lalu kami melanjutkan perjalanan ke masjid
agung Tuban karena adzan dhuhur sudah berkumandang sejak kami masih di
klenteng. Sambil Istirahat, menikmati buah lontar yang masih fresh, kami melepas lelah sejenak.
Kazumi sempat tidur sebentar di sini sebelum kemudian ceria bermain dengan
teman barunya.
Dari Masjid Agung Tuban, perjalanan kami
berlanjut ke Goa Akbar. Ah, sehari yang terasa lebih panjang dari kelihatannya.
Ceritanya kulanjut lain waktu, ya...
Sekarang, yang pasti saya merasa menemukan
saudari di bumi wali. Kakak, guru, mentor (berharap diterima jadi siswa yang
baik), sekaligus teman yang luar biasa. Terima kasih, jazakillah bi ahsan jaza’
Mba Hiday Nur untuk sehari yang begitu istimewa. Ya, Tuban Bumi Wali, begitu
tagline yang terpampang di perempatan patung Letda Sucipto. Tagline ini
dipatenkan oleh pemerintah daerah disamping beberapa sebutan lain bagi Tuban
yang juga terlanjur terkenal.
Sebelumnya, Tuban memiliki banyak julukan,
diantaranya: kota seribu goa karena banyaknya goa yang terdapat di kota ini,
kota siwalan karena banyaknya pohon lontar yang berbuah siwalan menjadi ciri
khas Tuban, kota tuwak karena legen (air nira lontar) yang didiamkan lama bisa
menjadi tuwak (minuman keras), kota bumi wali (karena banyak wali yang konon
pernah berdiam dan menyebar ilmu di kota ini, bahkan makam Sunan Bonang
terdapat di belakang masjid agungnya, dan banyak julukan lain yang kemudian
ditetapkan “bumi wali” sebagai julukan yang sah di atas julukan lain.
Saya tinggalkan Tuban jam 16.30 sore dan turun
dari bis jam 19 malam. Cukup lama, karena sopir berbeda tentu dengan cara
mengendara yang berbeda pula. Alhamdulillah, saat pulang rasa grogi dan
deg-degan sudah menguap entah kemana. Hanya masih tersisa rindu kembali ke
sana. Sampai jumpa lain waktu, Tuban dan segala pesonanya.
2 comments:
Wah, kapan saya bisa kopdar dengan mbk Sakifah dan ke Bumi Ronggolawe?
mantaaa soul. pertemuan dua perempuan hebat
Post a Comment