Saturday, 15 July 2017

`Kelas Non Fiksi 1

| |


Kelas non fiksi yang biasanya sepi sunyi, mendadak ramai. Entah, mungkin sepi karena selama ini sudah di-warning untuk tidak membahas selain masalah literasi di dalam kelas. Baik, bagaimanapun hanya kesungguhan diri sendiri yang akan menentukan hasil usaha selama ini. Tetap semangat, kawan!


Materi untuk pertemuan pertama, 11 Juli 2017 adalah tentang pembuatan outline, mindmap dan penentuan ide. Setelah membaca materi, peserta menanggapi dengan beberapa pertanyaan.

Apakah non fiksi lebih sulit daripada fiksi? Pertanyaan Ciani ditanggapi teh Santi: “Coba dengan mengumpulkan referensi buku satu tema dengan naskah tulisan kita. Memahami buku yang satu tema akan menambah wawasan dan mendapat hal baru yang tidak terpikir sebelumnya. Insya Allah outline semakin kuat dan menjadi batas bagi tulisan kita agar tidak kehilangan arah dan tujuan.” Iya sih, outline menjadi pedoman agar tulisan kita tidak “bingung” dalam perjalanan hingga penyelesaian.

Misalnya outline sudah jadi. Nah untuk memulai tulisan di paragafawal baiknya pakai cara apa?” Rika bertanya, lalu awie menjawab: “Kalau saya lebih menyesuaikan dengan tema yang akan saya tulis. Sesuaikan gaya bahasa kita dengan jenis tulisan yang akan kita tulis. Karena gaya bahasa tidak dapat diabaikan. Karena bagian inilah orang lain/ pembaca akan betah atau tidak dalam membaca tulisan kita. Paragraf yang digunakan bisa dengan desuktif, yaitu pikiran utama di awal paragraf. Atau paragraf induktif, kebalikannya.” Ya, ada tiga jenis paragraph: induktif, deduktif atau campuran yang inti paragrafnya harus disimpulkan dari beberapa kalimat penyusun.

Apakah untuk artikel yang mungkin 3 lembar untuk dikirim ke media harus ada outline dan mindmap juga? Biasanya malah stuck kalau ada outline dan tulisan terasa kaku. Apakah ini karena belum terbiasa buat outline? Pertanyaan Mba Wiwid ditanggapi Awie: “Kalau mau lebih terarah bisa buat mindmap atau outline mba.” Kemudian Teh Santi menambahkan “Lebih enak pakai outline dan mindmap mba, kalau saya untuk membaut target bisnis juga. Mindmap bisa diterapkan pada hal-hal ringan sehari-hari, misalnya mau beredar kemana saja hari ini.

Sebenarnya, kalau nulis buku non fiksi bisa ngga ya refeensi dari website? Tanya mba wiwid yang kemudian ditanggapi beberapa teman lain: “Bisa tapi dianjurkan dari buku fisik, buat tambahan.

Menurut pengalaman nulis tesis, referensi dari web, blog atau referensi online memang boleh digunakan dalam menulis non fiksi. Referensi tersebut tetap harus dicantumkan pada daftar referensi atau daftar pustaka dengan mencantumkan tanggal akses.

Ciani menanggapi, “Aku mikir non fiksi itu berat ya, teh? Harus banyak riset, baca buku fisik, kenapa harus belajar nulis non fiksi? Bagi sebagian orang, yang terjadi adalah sebaliknya. Sebenarnya, menulis fiksi juga perlu riset dan membaca buku non fiksi. Kalau kita tengok karya Tere Liye, Paulo Coelho, Andrea Hirata, atau penulis kece lain novelnya selalu kaya pengetahuan. Apakah semua itu ditulis dengan kepala kosong? Tentu tidak. Memahami pengetahuan selalu butuh asupan. Kita hanya perlu terus menambah pengetahuan. Masalah bagaimana menuliskannya dalam bentuk fiksi atau non fiksi, itu hanya masalah teknis. 

Lalu kenapa harus menulis non fiksi? Apakah tidak cukup pengetahuan ditulis dalam bentuk fiksi saja? Sayang, dunia butuh keseimbangan. Jika ada dunia khayal, kita tetap butuh dunia nyata, bukan? Meski yang nyata itu kadang menyakitkan, eh. Di dunia akademik, karya non fiksi dapat menjadi pertimbangan dalam berbagai kepentingan akademik, akreditasi, sampai kenaikan jabatan. Jadi, masihkah “perlu” menulis non fiksi?

Apakah orang pemalu bisa nulis non fiksi?” Lanjut Ciani, Rouf menjawab, “Bisa, kan cuma nulis.” Ehm, inilah salah satu istimewanya penulis, boleh malu-malu tapi tetap menulis. Hehe..

Sebenarnya praktek menulis fiksi dan non fiksi itu tidak berbeda. Sama-sama harus banyak membaca baik tulisan lain maupun keadaan dan dipelajari. Tidak ada yang susah antaara fiksi dan non fiksi jika kita terus belajar dan praktek menulis. Tapi memang, sebagian orang memiliki kecenderungan masing-masing. Ada yang cenderung merasa lebih mudah menulis fiksi, ada juga sebaliknya. Tidak masalah, yang penting adalah calon penulis haru sterus berusaha belajar dan menulis.

Di akhir sesi, Penanggung Jawab kelas Non Fiksi memberi dua tugas sekaligus. Karena memang tujuan kelas ini adalah untuk memaksimalkan kemampuan dan potensi menulis non fiksi. Jadi untuk tugas pekan ini pertama adalah menulis artikel tentang berita yang sedang hits dan diposting di blog masing-masing. Setelah itu, silahkan di share di FB dengan menandai PJ kelas. Untuk apa? Ini adalah salah satu upaya “branding” baik penulis secara personal maupun komunitas ODOP.

Tugas kedua adalah praktek menyusun outline. Setelah dapat materi, baiknya langsung praktek agar lebih mudah menyusun naskah buku nanti. Jadi, selamat mengerjakan tugas, teman-teman ODOP kelas Non Fiksi. ^_^

OneDayOnePost


1 comments:

Dewie dean said...

Mantrappp

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©