Kelas non fiksi yang biasanya sepi sunyi, mendadak ramai. Entah, mungkin sepi karena selama ini sudah di-warning untuk tidak membahas selain
masalah literasi di dalam kelas. Baik, bagaimanapun hanya kesungguhan diri
sendiri yang akan menentukan hasil usaha selama ini. Tetap semangat, kawan!
Materi untuk pertemuan pertama, 11 Juli 2017 adalah
tentang pembuatan outline, mindmap dan penentuan ide. Setelah membaca materi,
peserta menanggapi dengan beberapa pertanyaan.
“Apakah non fiksi lebih sulit daripada fiksi?” Pertanyaan Ciani ditanggapi teh Santi: “Coba dengan mengumpulkan referensi buku satu tema
dengan naskah tulisan kita. Memahami buku yang satu tema akan menambah wawasan
dan mendapat hal baru yang tidak terpikir sebelumnya. Insya Allah outline semakin
kuat dan menjadi batas bagi tulisan kita agar tidak kehilangan arah dan tujuan.” Iya sih, outline menjadi
pedoman agar tulisan kita tidak “bingung” dalam perjalanan hingga penyelesaian.
“Misalnya outline sudah jadi. Nah untuk memulai tulisan
di paragafawal baiknya pakai cara apa?” Rika bertanya,
lalu awie menjawab: “Kalau saya lebih
menyesuaikan dengan tema yang akan saya tulis. Sesuaikan gaya bahasa kita
dengan jenis tulisan yang akan kita tulis. Karena gaya bahasa tidak dapat
diabaikan. Karena bagian inilah orang lain/ pembaca
akan betah atau tidak dalam membaca tulisan kita. Paragraf yang digunakan bisa
dengan desuktif, yaitu pikiran utama di awal paragraf. Atau paragraf induktif,
kebalikannya.”
Ya, ada tiga jenis paragraph: induktif, deduktif atau campuran yang inti
paragrafnya harus disimpulkan dari beberapa kalimat penyusun.
“Apakah untuk artikel yang mungkin 3 lembar untuk
dikirim ke media harus ada outline dan mindmap juga? Biasanya malah stuck kalau
ada outline dan tulisan terasa kaku. Apakah ini karena belum terbiasa buat
outline?” Pertanyaan Mba Wiwid ditanggapi Awie: “Kalau mau lebih terarah bisa buat mindmap atau outline
mba.” Kemudian Teh
Santi menambahkan “Lebih enak pakai
outline dan mindmap mba, kalau saya untuk membaut target bisnis juga. Mindmap bisa
diterapkan pada hal-hal ringan sehari-hari, misalnya mau beredar kemana saja
hari ini.”
‘Sebenarnya, kalau nulis buku non fiksi bisa ngga ya
refeensi dari website?’ Tanya mba
wiwid yang kemudian ditanggapi beberapa teman lain: “Bisa tapi dianjurkan dari buku fisik, buat tambahan.”
Menurut pengalaman nulis tesis, referensi dari web,
blog atau referensi online memang boleh digunakan
dalam menulis non fiksi. Referensi tersebut tetap harus dicantumkan pada daftar
referensi atau daftar pustaka dengan mencantumkan tanggal akses.
Ciani menanggapi, “Aku mikir non fiksi itu berat ya, teh? Harus banyak
riset, baca buku fisik, kenapa harus belajar nulis non fiksi?” Bagi sebagian orang, yang terjadi
adalah sebaliknya. Sebenarnya, menulis fiksi juga perlu riset dan membaca buku
non fiksi. Kalau kita tengok karya Tere Liye, Paulo Coelho, Andrea Hirata, atau
penulis kece lain novelnya selalu kaya pengetahuan. Apakah semua itu ditulis
dengan kepala kosong? Tentu tidak. Memahami pengetahuan selalu butuh asupan. Kita
hanya perlu terus menambah pengetahuan. Masalah bagaimana menuliskannya dalam
bentuk fiksi atau non fiksi, itu hanya masalah teknis.
Lalu kenapa harus menulis non
fiksi? Apakah tidak cukup pengetahuan ditulis dalam bentuk fiksi saja? Sayang,
dunia butuh keseimbangan. Jika ada dunia khayal, kita tetap butuh dunia nyata,
bukan? Meski yang nyata itu kadang menyakitkan, eh. Di dunia akademik, karya
non fiksi dapat menjadi pertimbangan dalam berbagai kepentingan akademik,
akreditasi, sampai kenaikan jabatan. Jadi, masihkah “perlu” menulis non fiksi?
“Apakah orang pemalu bisa nulis non fiksi?” Lanjut Ciani, Rouf menjawab, “Bisa, kan cuma nulis.” Ehm, inilah salah satu
istimewanya penulis, boleh malu-malu tapi tetap menulis. Hehe..
Sebenarnya praktek menulis
fiksi dan non fiksi itu tidak berbeda. Sama-sama harus banyak
membaca
baik tulisan lain maupun keadaan
dan dipelajari. Tidak ada yang susah antaara fiksi dan non fiksi jika kita
terus belajar dan praktek menulis. Tapi memang, sebagian orang memiliki kecenderungan
masing-masing. Ada yang cenderung merasa lebih mudah menulis fiksi, ada juga
sebaliknya. Tidak masalah, yang penting adalah calon penulis haru sterus
berusaha belajar dan menulis.
Di akhir sesi, Penanggung
Jawab kelas Non Fiksi memberi dua tugas sekaligus. Karena memang tujuan kelas
ini adalah untuk memaksimalkan kemampuan dan potensi menulis non fiksi. Jadi untuk
tugas pekan ini pertama adalah menulis artikel tentang berita yang sedang hits
dan diposting di blog masing-masing. Setelah itu, silahkan di share di FB
dengan menandai PJ kelas. Untuk apa? Ini adalah salah satu upaya “branding”
baik penulis secara personal maupun komunitas ODOP.
Tugas kedua adalah praktek
menyusun outline. Setelah dapat materi, baiknya langsung praktek agar lebih
mudah menyusun naskah buku nanti. Jadi, selamat mengerjakan tugas, teman-teman
ODOP kelas Non Fiksi. ^_^
OneDayOnePost
1 comments:
Mantrappp
Post a Comment