Sebagian besar orang hanya bisa mengeluh saat
tiba-tiba sakit. Awalnya, akupun begitu. Merasakan sakit tanpa alasan rasanya
tidak bisa diterima. Bagaimana mungkin? Aku biasa makan dengan teratur, tidak
terlalu banyak, olahraga, banyak kegiatan, cukup minum, asupan gizi terpenuhi.
Kurang apa lagi?
Tapi serangan itu tak butuh sekali untuk menunjukkan
eksistensi diri. Jantung tiba-tiba berdegup kencang, tekanan darah turun
drastis, disusul tubuh yang melemas seperti baju tanpa hanger, ambruk. Tidak cukup sampai disitu, tingkat kesadaran
perlahan terus turun diikuti keringat dingin yang membanjir. Telapak tangan dan
ujung kaki terasa dingin, perlu beberapa lapis selimut untuk membuatnya hangat.
Tapi sekali lagi, keringat terus keluar dari kepala, wajah, hingga tubuh. Lebih
deras dari efek berlari kecil sejauh 1 KM. Keringat dingin, membuat pakaianku
terasa basah dalam 1-2 jam sejak serangan itu datang.
Rasa sakit paling terasa ada di dada sebelah kiri.
Nyeri, seperti ditindih benda berat yang membuat sesak napas. Sementara jika
diperhatikan, degup jantung membuat dada sebelah kiri tampak kejang, seperti
melompat-lompat tanpa aturan. Pakaian luarpun tampak jelas bergerak naik-turun
mengikuti gerak jantung tanpa irama.
Jangan tanya soal sakit di kepala, rasanya kematian
saat itu begitu dekat. Hati dan logika mencoba terus bekerjasama untuk
mengikhlaskan semua. Bilakah waktuku sudah habis untuk hidup di dunia? Apakah
malaikat maut datang menjemputku sekarang? Apakah yang akan kuserahkan padaNya di
hari pengadilan nanti? Aku belum punya cukup bekal untuk melangkah di dunia
keabadian. Masih banyak dosa yang pernah kulakukan, belum terhapus oleh amal
kebaikan. Tapi jika benar sakit ini mengantarku ke sana, apa yang bisa
kulakukan? Tentu Allah dan malaikatNya tak akan menerima satupun alasan
penundaan.
Aku pasrah. Nyawa, tubuh, bahkan pakaian yang melekat
di badan adalah milikNya. Aku hadir ke dunia ini dalam keadaan telanjang, tanpa
harta apalagi tahta. Segala bentuk sanjungan orang, apresiasi menyenangkan,
bahkan seulas pujian begitu mudah dilupakan. Saat itu, satu-satunya hal yang
kuinginkan adalah: Allah ridha atas hidupku. Tidak, bukan lagi neraka yang
kutakuti. Untuk apa takut pada neraka, sedangkan aku pernah dengan berani
melanggar laranganNya? Untuk apa khawatir disiksa, padahal sebelumnya dosa pernah
begitu saja kulakukan tanpa mempertimbangkan akibatnya?
Bukan lagi surga yang kuharap. Tidak pantas rasanya. Surga
itu mahal, mana mungkin mampu kubeli dengan amal yang pernah kutekuni, dzikir
yang terlintas dalam hati, juga do’a-do’a yang merantai melangitkan harap,
sedangkan nilainya mungkin tak lebih berharga dari sebutir debu ditengah gurun
pasir? Aku tak peduli, kemana kehendakNya ingin membawaku saat itu. Bagiku,
yang penting Allah ridha, dimanapun aku harus berdiri akhirnya.
Rupanya dugaanku untuk segera meninggalkan dunia itu
salah. Buktinya, sekarang aku masih diberi kesempatan mengetik huruf demi huruf
dalam tulisan ini. Rupanya tugas hidupku
belum selesai. Masih ada kesempatan yang tak kutahu sampai kapan. Belum satupun
dokter kutemui untuk konsultasi hingga saat ini. Bukan karena khawatir tak
mampu membayar tagihannya, tapi takut tak cukup kuat mengetahui hasilnya.
Serangan seperti itu hanya berlangsung paling lama
delapan jam. Setelah itu semua kembali normal seperti tidak pernah terjadi
apa-apa sebelumnya. Pernah sekali diantar ke klinik dekat rumah dan petugas
medis melakukan pemeriksaan dasar. Saat itu kondisiku sudah cukup stabil
sehingga bisa dibawa ke klinik. Petugas medis bilang aku hanya kecapekan,
tekanan darah rendah karena dibawah 90. Obat yang diberikan adalah vitamin dan
tablet tambah darah, tidak ada obat lain atau pertimbangan untuk pemeriksaan
lebih lanjut. Aku berasumsi bahwa saat itu mereka tidak curiga adanya sesuatu
yang janggal dalam tubuhku selain kecapekan.
Aku memilih melakukan riset kecil sendiri,
menganalisis penyebab, mencari faktor pemicu dan cara tepat mengatasinya ketika
serangan serupa datang. Internet menjadi sumber berita utama, konsultasi dokter
secara online juga pernah kulakukan. Termasuk observasi kecil, semacam
melakukan penelitian pada diri sendiri.
Hasilnya? Serangan itu datang setiap ada beban pikiran
yang terlalu berat. Orang lain bisa melihatku seolah tanpa masalah dan bersikap
tenang, tapi jauh di dalam diri, aku selalu memikirkan banyak hal. Mulai dari
hal-hal sepele seperti penilaian orang tentangku, hingga rencana-rencana masa
depan lengkap dengan berbagai pertimbangan logika. Aku cenderung merasa “harus”
melakukan dan menyelesaikan apa yang sudah kurencanakan, atau kalau perlu
memaksa, atau kecewa jika kenyataan tak sesuai harapan. Aku sering merasa
sendiri menghadapi semua ini, sepi tak terperi. Satu demi satu beban pikiran
itu menorehkan luka psikologi tanpa kusadari. Berbeda dengan luka fisik yang
tampak jelas, berdarah-darah, bisa diobati dan dipantau perkembangan
kesembuhannya setiap saat. Tapi luka di jiwa, siapa bisa mengukurnya?
Perlahan tapi pasti, aku berubah. Kutarik nafas lebih
dalam dan panjang. Bukankah setiap hal terjadi sesuai dengan ketetapanNya? Maka
tak ada alasan selain harus mengikhlaskan. Aku belajar menerima, membebaskan
jiwa dari rasa tertekan, membiarkan setiap mimpi melambung tinggi. Aku berusaha
merasa bahagia apapun yang terjadi. Tak peduli lagi pada rasa sakit, kecewa,
atau keraguan yang timbul menghias hari. bahagia adalah keputusan, maka aku
hanya perlu memutuskan untuk selalu bahagia, agar perasaan buruk pergi sendiri
berganti dengan atmosfer menyenangkan dalam hati.
Demi menyembuhkan diri sendiri, aku hijrah ke Jogja.
Melanjutkan jenjang S2, sesungguhnya merupakan keputusan berdasarkan banyak
pertimbangan. Ya, hijrah hati, perasaan, jiwa, sekaligus raga. Sejujurnya, menuntut
ilmu bukan satu-satunya tujuan. Mungkin inilah yang Allah
kehendaki dariku, mengubah diri menjadi lebih ikhlas, tenang, dan menggunakan
logika seperti seharusnya. Fitrah wanita memang dominan dengan rasa. Tapi seringkali,
perasaan yang terlalu menguasai diri bisa berakibat fatal pada penurunan
kondisi fisik.
Sakit itu datang bukan tanpa alasan. Karena dengan
merasakan ambang kematian, kemudian kembali pada kenyataan, seolah Allah
menegur, “Sadarlah, kau tak pernah sendiri. Ada Aku didekatmu.” Lalu jiwa ini menjadi tenang. Kini
aku tak perlu khawatir lagi akan masa lalu, hari ini, dan masa depan. Setiap detik
berusaha kulalui dengan hal-hal baik agar terus bermanfaat. Entah, tak peduli
sampai kapan kesempatan untuk menjalani kehidupan ini kudapatkan. Jenjang S2
sudah kuselesaikan, yang rasanya tak pernah pantas disebut kebanggaan. Karena rasa
bangga tak pernah jadi tujuan untuk melalui semua. Cukuplah rasa lega atas
kesempatanku menghirup nafas dengan bebas ini dan upayaku mengamalkan ilmu menjadi
sarana syukur tak terbilang hari. Aku siap untuk hari ini, juga nanti.
Terima kasih Ya Allah, untuk
rasa sakit yang pernah mengubahku. Tapi sungguh, jika aku boleh meminta, jangan
ulangi lagi rasa sakit itu, jika habis waktuku hidup di ala mini, panggil aku
dengan caraMu yang indah dalam khusnul khotimah.
Aamiin…
2 comments:
Aamiin .
Aamiin .
Post a Comment