Entah pertama
kali mendengar kalimat pamungkas itu dari siapa, adek Afizah akhir-akhir ini
selalu merajuk, “Jangan paksa adek..” Bisa sambil cemberut, menangis, atau
bahkan teriak jika sudah melampaui batas kesabarannya. Instruksi itu sangat
jelas: dia tidak mau “dikendalikan” oleh orang-orang dewasa disekitarnya.
Di satu sisi,
ini modal karakter yang baik. Sejak kecil tidak mudah terpengaruh atau
dipengaruhi oleh orang lain, kelak dewasa semoga juga memegang erat prinsip
yang diyakininya benar. Namun disisi lain, hal seperti ini tentu sedikit
“mengganggu” harga diri orang dewasa yang cenderung ingin “interogasi” terhadap
kehidupan anak-anak.
Jika sudah
seperti ini, harus bagaimana?
Aku suka
menggodanya, “Eh, emang siapa yang mau maksa adek? Orang tadi mbak nawari adek
mau tinggal di rumah sendiri atau ikut keluar?” atau, “Mbak loh cuma kasih adek
pilihan, mau mandi di rumah atau di toko?”
Ehm, mendidik
anak memang perlu kesabaran ekstra. Ini ceritanya training sekaligus magang dulu
sebelum praktek ke anak sendiri nanti. Aku sadar bahwa setiap anak memiliki
karakter berbeda. Otomatis cara menghadapi satu anak berbeda dengan anak lain.
Setelah memahami bahwa adek tidak suka menerima paksaan dalam bentuk apapun,
maka itu berarti aku harus mencari cara lain untuk “mengendalikannya” tanpa dia
sadari.
Sehari kemarin,
Senin 28 Agustus 2017 adik sangat kooperatif sejak pagi sampai waktu tidur.
Bangun tidur mau persiapan sekolah, di sekolah bisa mengikuti pelajaran sampai
selesai dan mendapat nilai mengaji dan membaca L (Lancar), setelah itu main di
toko sampai siang, pulang sebentar lalu lihat tv. Waktunya mengajipun adek mau
diajak mandi. Dia minta mandi di toko. Setelah rapi, pakai kerudung cantik, eh
malah mogok tidak mau berangkat. Akhirnya kuberi pilihan, jika tiak mau
berangkat mengaji maka harus mengaji di rumah ulang dua kali. Alhamdulillah,
bekal beberapa tahun sebelumnya ikut sertifikasi guru Al Qur’an ada gunanya di
saat seperti ini. Aku mengajarinya membaca sesuai halaman pencapaiannya.
Setelah itu, dia minta dibacakan ensiklopedi tentang tulang.
Adek mengajak
pulang sesaat menjelang maghrib. Di rumah minta mainan, lalu minta dibuatkan
nutrijel strawberry tanpa fruity acid. “Adek tak belajar ya, sambal menunggu
jelly-nya kenyal,” Ujarnya. Aku sempat kaget sekaligus bahagia. Dia mau belajar
sendiri? Wow! Biasanya disuruh orang serumahpun tidak mau.
Kuiyakan
permintaannya, dia belajar sendiri menulis angka dan huruf. Serius sekali. Memperhatikan
raut wajahnya yang seperti seorang professor sedang melakukan penelitian super
rumit dalam laboratoriumnya, aku menyadari bahwa memang anak tak perlu dipaksa.
Dalam kondisi normal dan terkendali, memaksa hanya akan menimbulkan masalah
psikologi. Hilangnya mood, semangat, sampai mengganggu jadwal orang dewasa. Namun
dalam kondisi tertentu yang lain, anak tetap harus dipaksa untuk menuruti
kemauan orang tua.
Perkara sholat,
misalnya. Kita tahu dalam aturan agama, anak umur tujuh tahun sudah dianjurkan
untuk shalat lima waktu. Umur sepuluh tahun, orang tua berhak memukul sang anak
jika belum bisa istiqomah melaksanakan kewajiban shalat. Namun perlu kita koreksi
kembali, dalam kondisi seperti apa “memukul anak yang tidak mau shalat” bisa
jadi solusi agar mereka bisa dan mau menjalankan kewajibannya?
Jika sebelum
usia tujuh tahun anak sudah dibiasakan melaksanakan shalat bersama orang tua,
menghadiri majelis ilmu, diberi pengertian soal kewajiban dan larangan, akan
wajar jika mereka perlu dipukul saat usia sepuluh tahun belum juga menyadari
kewajibannya untuk melaksanakan shalat. Namun kondisinya tentu berbeda jika
sejak kecil anak dibiarkan semaunya, dididik ilmu agama ala kadarnya, tidak
diberi pemahaman yang baik tentang kewajiban dan larangan, apakah orang tua
berhak memukul anak yang tidak mau shalat pada usia sepuluh tahun? Atau jangan-jangan,
orang tuanyapun masih enggan melaksanakan kewajiban agama?
Memaksa anak
bisa dilakukan hanya dalam kondisi terpaksa. Orang tua harus benar-benar
memilah dan memilih kapan waktu dan cara yang tepat untuk bisa “mempengaruhi”
anak. Betapa banyak orang tua yang memilih “pasrah
bongkoan” atau tidak mau tahu pola pendidikan anak. Asal sudah membiayai di
sekolah yang dianggap baik, Pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada guru
di sekolah atau lembaga pendidikan. Padahal waktu terbanyak anak adalah di
rumah, Bersama keluarga, lingkungan, dan tentu saja orang tua. Maka sebenarnya,
guru yang pertama sekaligus paling utama, yang harus paling mengenal karakter
anak adalah orang tua. Bukan guru di sekolah atau lembaga pendidikan di luar
rumah.
Hari ini, Selasa
29 Agustus 2017, pagi hari adek sudah mau bersiap sekolah. Tapi karena pasta
gigi dan sikatnya tertinggal di toko setelah mandi kemarin, maka aku harus
mengambilnya ke toko. Entah apa yang terjadi sesaat ketika kutinggal di rumah bersama
pengasuh dan neneknya. Saat sampai di rumah, adik menangis tak mau mandi,
apalagi sekolah. Menurut pengasuhnya, “Ada paksaan terselubung, mbak.” Aku
hanya tersenyum menghadapi adek yang merajuk. Sampai beberapa menit kemudian
reda marah dan tangisnya. Praktis, hari ini adek tak mau berangkat sekolah. Akhirnya
ikut kami ke toko, belanja ke pasar dan bermain bersama kucing. Lewat jam sembilan
pagi, adik minta mandi. Kumandikan lalu kami pergi membeli ayam goreng untuk
lauknya.
Siang kami
kembali ke toko, bermain dan membaca ensiklopedi, terus kucoba menariknya untuk
belajar. Pelan tapi pasti, saat jadwal mengaji dia mau pulang dan mandi. Namun setelah
mandi, dia tak mau berangkat lagi. Alasannya klise, mengantuk. aku tak ingin menyerah karena tahu sebenarnya dia masih mampu untuk mengaji. Hanya perlu mengusir rasa malas, ini perlu taktik tersendiri.
Akhirnya, pelan
kudekap dia dalam pangkuan, kuceritakan tentang betapa syetan selalu berusaha
mengajak manusia berbuat buruk, tidak mau mengaji dan belajar, akhirnya membawa
mereka ke neraka. Rupanya provokasi itu berhasil. Adik mau mengaji dengan
inisiatif sendiri. Kusemak dan kubenarkan hingga mengulang dua kali. Dia minta
diceritakan lagi tentang surga dan neraka. Tentang Allah dan bagaimana perlakuanNya terhadap hamba.
Tak lama
kemudian, dia bermain globe, kesempatan untuk mengenalkannya tentang siang dan
malam. Ah, mendidik anak memang tidak mudah, apalagi dengan prinsip tanpa
memaksa. Tapi yakinlah, hasilnya akan jauh lebih maksimal ketika mereka bisa
belajar dengan perasaan bahagia.
1 comments:
Salam sama adeknya kakak kifa..
Post a Comment