Tuesday, 29 August 2017

“Jangan Paksa Adek…!”

| |



Entah pertama kali mendengar kalimat pamungkas itu dari siapa, adek Afizah akhir-akhir ini selalu merajuk, “Jangan paksa adek..” Bisa sambil cemberut, menangis, atau bahkan teriak jika sudah melampaui batas kesabarannya. Instruksi itu sangat jelas: dia tidak mau “dikendalikan” oleh orang-orang dewasa disekitarnya.


Di satu sisi, ini modal karakter yang baik. Sejak kecil tidak mudah terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang lain, kelak dewasa semoga juga memegang erat prinsip yang diyakininya benar. Namun disisi lain, hal seperti ini tentu sedikit “mengganggu” harga diri orang dewasa yang cenderung ingin “interogasi” terhadap kehidupan anak-anak.

Jika sudah seperti ini, harus bagaimana?

Aku suka menggodanya, “Eh, emang siapa yang mau maksa adek? Orang tadi mbak nawari adek mau tinggal di rumah sendiri atau ikut keluar?” atau, “Mbak loh cuma kasih adek pilihan, mau mandi di rumah atau di toko?”

Ehm, mendidik anak memang perlu kesabaran ekstra. Ini ceritanya training sekaligus magang dulu sebelum praktek ke anak sendiri nanti. Aku sadar bahwa setiap anak memiliki karakter berbeda. Otomatis cara menghadapi satu anak berbeda dengan anak lain. Setelah memahami bahwa adek tidak suka menerima paksaan dalam bentuk apapun, maka itu berarti aku harus mencari cara lain untuk “mengendalikannya” tanpa dia sadari.

Sehari kemarin, Senin 28 Agustus 2017 adik sangat kooperatif sejak pagi sampai waktu tidur. Bangun tidur mau persiapan sekolah, di sekolah bisa mengikuti pelajaran sampai selesai dan mendapat nilai mengaji dan membaca L (Lancar), setelah itu main di toko sampai siang, pulang sebentar lalu lihat tv. Waktunya mengajipun adek mau diajak mandi. Dia minta mandi di toko. Setelah rapi, pakai kerudung cantik, eh malah mogok tidak mau berangkat. Akhirnya kuberi pilihan, jika tiak mau berangkat mengaji maka harus mengaji di rumah ulang dua kali. Alhamdulillah, bekal beberapa tahun sebelumnya ikut sertifikasi guru Al Qur’an ada gunanya di saat seperti ini. Aku mengajarinya membaca sesuai halaman pencapaiannya. Setelah itu, dia minta dibacakan ensiklopedi tentang tulang.

Adek mengajak pulang sesaat menjelang maghrib. Di rumah minta mainan, lalu minta dibuatkan nutrijel strawberry tanpa fruity acid. “Adek tak belajar ya, sambal menunggu jelly-nya kenyal,” Ujarnya. Aku sempat kaget sekaligus bahagia. Dia mau belajar sendiri? Wow! Biasanya disuruh orang serumahpun tidak mau.

Kuiyakan permintaannya, dia belajar sendiri menulis angka dan huruf. Serius sekali. Memperhatikan raut wajahnya yang seperti seorang professor sedang melakukan penelitian super rumit dalam laboratoriumnya, aku menyadari bahwa memang anak tak perlu dipaksa. Dalam kondisi normal dan terkendali, memaksa hanya akan menimbulkan masalah psikologi. Hilangnya mood, semangat, sampai mengganggu jadwal orang dewasa. Namun dalam kondisi tertentu yang lain, anak tetap harus dipaksa untuk menuruti kemauan orang tua.

Perkara sholat, misalnya. Kita tahu dalam aturan agama, anak umur tujuh tahun sudah dianjurkan untuk shalat lima waktu. Umur sepuluh tahun, orang tua berhak memukul sang anak jika belum bisa istiqomah melaksanakan kewajiban shalat. Namun perlu kita koreksi kembali, dalam kondisi seperti apa “memukul anak yang tidak mau shalat” bisa jadi solusi agar mereka bisa dan mau menjalankan kewajibannya?

Jika sebelum usia tujuh tahun anak sudah dibiasakan melaksanakan shalat bersama orang tua, menghadiri majelis ilmu, diberi pengertian soal kewajiban dan larangan, akan wajar jika mereka perlu dipukul saat usia sepuluh tahun belum juga menyadari kewajibannya untuk melaksanakan shalat. Namun kondisinya tentu berbeda jika sejak kecil anak dibiarkan semaunya, dididik ilmu agama ala kadarnya, tidak diberi pemahaman yang baik tentang kewajiban dan larangan, apakah orang tua berhak memukul anak yang tidak mau shalat pada usia sepuluh tahun? Atau jangan-jangan, orang tuanyapun masih enggan melaksanakan kewajiban agama?

Memaksa anak bisa dilakukan hanya dalam kondisi terpaksa. Orang tua harus benar-benar memilah dan memilih kapan waktu dan cara yang tepat untuk bisa “mempengaruhi” anak. Betapa banyak orang tua yang memilih “pasrah bongkoan” atau tidak mau tahu pola pendidikan anak. Asal sudah membiayai di sekolah yang dianggap baik, Pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada guru di sekolah atau lembaga pendidikan. Padahal waktu terbanyak anak adalah di rumah, Bersama keluarga, lingkungan, dan tentu saja orang tua. Maka sebenarnya, guru yang pertama sekaligus paling utama, yang harus paling mengenal karakter anak adalah orang tua. Bukan guru di sekolah atau lembaga pendidikan di luar rumah.

Hari ini, Selasa 29 Agustus 2017, pagi hari adek sudah mau bersiap sekolah. Tapi karena pasta gigi dan sikatnya tertinggal di toko setelah mandi kemarin, maka aku harus mengambilnya ke toko. Entah apa yang terjadi sesaat ketika kutinggal di rumah bersama pengasuh dan neneknya. Saat sampai di rumah, adik menangis tak mau mandi, apalagi sekolah. Menurut pengasuhnya, “Ada paksaan terselubung, mbak.” Aku hanya tersenyum menghadapi adek yang merajuk. Sampai beberapa menit kemudian reda marah dan tangisnya. Praktis, hari ini adek tak mau berangkat sekolah. Akhirnya ikut kami ke toko, belanja ke pasar dan bermain bersama kucing. Lewat jam sembilan pagi, adik minta mandi. Kumandikan lalu kami pergi membeli ayam goreng untuk lauknya.

Siang kami kembali ke toko, bermain dan membaca ensiklopedi, terus kucoba menariknya untuk belajar. Pelan tapi pasti, saat jadwal mengaji dia mau pulang dan mandi. Namun setelah mandi, dia tak mau berangkat lagi. Alasannya klise, mengantuk. aku tak ingin menyerah karena tahu sebenarnya dia masih mampu untuk mengaji. Hanya perlu mengusir rasa malas, ini perlu taktik tersendiri.

Akhirnya, pelan kudekap dia dalam pangkuan, kuceritakan tentang betapa syetan selalu berusaha mengajak manusia berbuat buruk, tidak mau mengaji dan belajar, akhirnya membawa mereka ke neraka. Rupanya provokasi itu berhasil. Adik mau mengaji dengan inisiatif sendiri. Kusemak dan kubenarkan hingga mengulang dua kali. Dia minta diceritakan lagi tentang surga dan neraka. Tentang Allah dan bagaimana perlakuanNya terhadap hamba.

Tak lama kemudian, dia bermain globe, kesempatan untuk mengenalkannya tentang siang dan malam. Ah, mendidik anak memang tidak mudah, apalagi dengan prinsip tanpa memaksa. Tapi yakinlah, hasilnya akan jauh lebih maksimal ketika mereka bisa belajar dengan perasaan bahagia.



1 comments:

irma said...

Salam sama adeknya kakak kifa..

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©