Pernikahan itu
ribet, hanya bagi orang-orang yang sedang repot.
Pernikahan itu
membosankan, hanya bagi orang-orang yang sedang bosan.
Pernikahan itu
menyakitkan, hanya bagi orang-orang yang sedang sakit.
Pernikahan itu
menambah masalah, hanya bagi orang-orang bermasalah.
Pernikahan itu
menjemukan, hanya bagi orang-orang yang sedang jemu.
Maka jika kau
ingin pernikahanmu bahagia, menyehatkan, sekaligus penuh berkah…
Engkau harus
bahagia, agar pernikahanmu terasa sempurna
Engkau harus
ikhlas, agar mampu menerima setiap lika likunya
Engkau harus
siap, agar tak terkejut dengan segala perhitungannya.
“Nak, kau ingin
pernikahan yang seperti apa?” Ibu bertanya halus. Namun pertanyaan itu mampu
mengguncang perasaanku. Pernikahan?
Sudah sering aku
memikirkannya. Tapi…
“Yang sederhana
saja, bu.”
“Apakah itu
berarti tidak ada pesta? Apa kata keluarga nanti, teman-temanmu, juga para
tetangga?” Entah kenapa, ibu begitu antusias membahas pernikahanku pagi ini. Padahal,
calon saja belum ada!
“Boleh dong
pesta. Tapi secukupnya saja ya. Jangan berlebihan, apalagi sampai hutang untuk
menutup biayanya?” Ujarku tegas. Ibu tersenyum lembut.
“Ibu, emang
ingin aku menikah….sama siapa?” Tanyaku heran. Entah sudah berapa kali ibu berusaha
membahas masalah pernikahan denganku. Sementara aku memilih bisu. Bukan, bukan
karena tak mau. Gadis mana yang tak mau menyempurnakan separuh agama?
Tapi lebih dari
itu, aku belum tahu hendak menikah dengan siapa. Selama ini, aku juga tidak
menutup hati agar lebih mudah menerima cinta. Tapi rupanya Allah belum ridha. Mungkin
dalam pandanganNya, aku belum siap, atau dia yang entah dimana sedang
mempersiapkan diri?
Kata mereka,
jodoh adalah rahasia. Kita tak bisa menyangka akhirnya menikah dengan siapa. Tapi
bukankah kita juga manusia biasa yang diberi kemampuan mengolah rasa? Ah,
semakin dipikir, semakin membingungkan rasanya.
Maka aku memilih
diam. Pacaran tak pernah jadi penyebab paling indah dalam mahligai pernikahan. Maka aku tak ingin menjalaninya. Biar,
biar saja kujalani hidup apa adanya. Berbahagia dengan sahabat, teman,
saudara.
“Dengan seorang
lelaki terbaik pilihan Allah.” Ibu menjawab mantap. Aku hampir menitikkan air
mata, terharu.
Bukan lagi
ukuran materi atau prestasi yang menjadi pertimbangan. Bukan pula gelar dan
jabatan yang bisa melegakan. Bukankah ridha Allah cukup untuk membuat kita
selalu merasa tenang?
“Insya Allah..”
Jawabku lirih. Dalam hati terlantun harap, Duhai Robbi… yakinkanlah dia yang
engkau ridhoi menjadi imam di dunia dan akhiratku untuk segera melangkah,
mengajakku merajut masa depan. Duhai pemilik hati, jadikan pernikahan sebagai
pilihan terbaik bagi kami. Agar dapat saling menguatkan untuk membangun
keluarga dala ridhaMu.
#CelotehPagi
#ODOP
0 comments:
Post a Comment