Seringkali,
perasaan anak-anak tidak stabil. Tiba-tiba senang, tiba-tiba ngambek, menangis,
atau merajuk. Bermain Bersama anak-anak yang sedang bahagia memang
menyenangkan. Beda rasanya dengan menghadapi anak yang sedang merajuk. Diberi ini,
menolak, ditawari yang lain, malah diam, atau menangis tak karuan. Seolah orang
dewasa disekitarnya dituntut untuk bisa membaca pikiran dan isi hatinya. Tapi jika
diperhatikan, setiap hal yang dirasakan oleh anak pasti memiliki sebab. Entah sebab
itu logis atau tidak bagi orang dewasa, bagi anak-anak sebab itu patut
dipertahankan sehinga mereka rela merajuk atau menangis tiba-tiba.
Ops, saya
sendiri belum punya anak. Menikah saja belum, Ops #curcol. Tapi pengalaman mendampingi anak-anak selama ini saya
coba tuliskan, semoga bermanfaat. Ilmu sebelum amal, insya Allah begitu. Biar nanti sudah siap menghadapi segala kemungkinan ketika waktunya tiba. Inilah beberapa hal yang harus kita lakukan
ketika menghadapi anak yang sedang merajuk:
![]() |
Saat Adek merajuk tanpa alasan logis, hiks |
Pertama, kenali
sebabnya. Setiap hal terjadi karena sebuah alasan. Begitu juga apa yang terjadi
pada anak. Jika anak tiba-tiba menangis, pasti ada sesuatu. Kita harus peka,
mengingat apa yang dilakukannya sebelumnya, bersama siapa, atau cara yang
paling enak adalah bertanya, ada apa? Ya! Pancing anak untuk bercerita tentang
sebab tangis atau marahnya. Jangan kaget jika kadang, alasan anak-anak merajuk
sama sekali tidak logis.
Afizah misalnya,
kemarin saat berjalan pulang dari toko, sampai di depan toko sebelah tiba-tiba
menangis. Saat kutanya, “Adek kenapa?” dijawabnya, “Minta sama pakpoh… di antar
pakai motornya pakpoh…” Sambil terus menangis. Pakpuh: Bapak sepuh, adalah
sebutan sama seperti pakdhe: Bapak Gedhe, kakak dari orang tua kita. Iya,
Afizah minta diantar pulang oleh ayahku yang saat itu sudah di rumah, sekitar
30 KM dari sini. Alamak! Rasanya pengen tepok jidat. Padahal beberapa detik
sebelumnya dia masih tersenyum berpamitan dengan pegawai di toko, mau pulang.
Sebelumnya memang
kami ke toko diantar ayah, sekalian jalan karena ayah mau pulang naik motor. Ketika
ayah pulang, kami ditinggal di toko. Tadi dipamiti sudah bilang iya, kenapa
sekarang tiba-tiba merajuk? Apa yang harus saya lakukan? Afizah tak mau pulang
jalan kaki, itu intinya. “Adek, pakpuh sudah di rumahnya. Jauh dari sini. Kan tadi
sudah pamit?” “Mau telpon sama Pakpuh…” Rengeknya.
Ada saat dimana
anak merajuk dengan alasan yang benar. Tapi kadang juga anak merajuk tanpa
logika. Kita harus pandai membedakannya, agar tidak salah menyikapi tingkah
anak yang memang butuh ekstra kesabaran menghadapi. Okey, mau telpon. Kuminta adek
untuk menyelesaikan dulu tangisnya. “Kan jelek, masa telpon sambil nangis? Nanti
adek ngga bisa ngomong dengan jelas…” Ujarku dengan suara tak kalah syahdu
untuk merayu.
“Mau balik ke
toko… Ngga mau pulang…” Hufft, memang sejak tadi aku yang mengajaknya pulang. Kami
tinggalkan rumah sejak sore, sampai waktu isya’ saat adek merajuk, tentu tak ada
yang menyalakan lampu. Tapi dengan begini, adek tentu tak mau dipaksa pulang. Meninggalkannya
di toko juga bukan solusi, karena dia tak mau ditinggal. Siapa yang harusnya
mengalah? Anak-anak? Memaksa hanya melukai perasaan mereka.
Kami kembali ke
toko, mencoba telpon ayah yang ternyata sedang mandi. Setelah melalui dialog
yang sedikit panjang, akhirnya adek mau pulang diantar pegawai toko naik motor.
Duh, kenapa ngga dari tadi aja begini sih, dek? Hehehe.
Sabar kakak,
sabar ya… butuh waktu untuk membuat anak mengerti.
Sampai di rumah,
merajuknya sudah selesai. Dia bisa telpon dan ngobrol langsung sama pakpuh-nya,
bahkan laporan kalau tadi sudah nangis karena pengen diantar pulang sama
Pakpuh!
Jadi, yang harus
kita lakukan saat anak merajuk adalah menemukan alasannya. Jika sudah, maka
langkah selanjutnya adalah dekati dan beri pengertian apa yang sedang terjadi. Ingat,
tidak perlu berbohong kepada anak. Kebohongan pertama akan mengantar kita pada
kebohongan berikutnya, begitu terus. Sampai kita terbawa ke neraka. Mau?
Ketika anak
belum bisa diberi pengertian, maka biarkan dia menuntaskan emosinya. Entah dengan
menangis, teriak, atau bahkan gulung-gulung dilantai, abaikan sejenak sampai
dia merasa puas. Nanti ada saat dimana dia merasa bosan dan bisa diberi pengertian.
Jika diberi pengertian tidak juga membuatnya paham, bisa diberi alternatif pilihan
yang lebih ringan bagi kita dari pada permintaannya. Biasanya mereka bisa
diarahkan dengan pilihan-pilihan. Jangan biarkan anak-anak terpaksa menjalani
sesuatu tanpa tahu alasannya. Selamat mencoba.
Akan lebih mudah
“mengendalikan” anak ketika sudah paham. Tapi memang membuat mereka paham
maksud kita, biasanya memakan cukup banyak waktu. Bisa jadi mengganggu jadwal
kita yang lain. Tapi percayalah, ini lebih singkat dibanding jika kita
memaksa, kemudian melukai hatinya. Luka itu akan terbawa sampai ia dewasa.
0 comments:
Post a Comment