“Baru nyampe
rumah ibu.” Ujarnya lemah. Mungkin dia lelah. Aku juga, sebenarnya. Menyapanya lewat
gelombang suara sebenarnya bukan sekedar pengobat rindu, tapi juga semacam
endorphin. Obat penenang yang tak akan ditemukan di apotik manapun. Entah,
bersamanya meski tak nyata cukup membuatku merasa tenang, seperi bersama
seseorang yang sudah kenal dekat sejak lama. Padahal? Setahun belum ada. Dan kami
belum pernah bertatap muka.
“Salam ke Ibu.”
Ujarku singkat.
Eh? Sedetik kemudian
ada alarm menyala dalam otakku. Salam? Ke Ibu-nya? Sungguh? Tak menyangka aku
seberani itu. Siapa aku? Hingga berkirim salam pada… ibu-nya.
Lama tak ada
jawaban. Wajar, pikirku. Kalau biasanya aku (yang jarang pulang) ketika baru
sampai rumah dan ketemu ibu, lupa dengan HP dan kawan-kawannya. Bahagia tak
terkata, hingga lupa waktu untuk sekedar menyapa, cuci kaki dan tangan, makan
bersama, dan mengobrol sepuasnya. Lalu kami sadar bahwa malam sudah begitu larut
sehingga percakapan itu memiliki tempat istimewa, menggeser posisi kerinduan ke
posisi aman.
Tempo hari, saat
hari istimewaku tiba, HP yang biasa kugunakan untuk menghubungi ibu lupa dicas.
Hari sudah siang ketika aku ingat dan mengisi dayanya. Masih ada HP satu lagi
yang bisa dihubungi sebenarnya, dan benar saja, sesaat setelah aku ingat, sudah
ada panggilan tak terjawab dari ibu saat kutengok. Rasa bersalah karena
mengabaikan panggilan malaikat kesayangan merayap cepat. Aku menelponnya
kembali ketika senggang, sekitar satu jam kemudian.
“Masya Allah,
sampai ngga sempat telpon ibu ya? Ibu udah kuangen
ini ngga dengar suaramu, nak. Dulu dimanapun kamu, hampir tiap hari telepon. Ini
di tempat saudara aja bisa betah berminggu-minggu
ngga telpon ke rumah?” Nyess, rasanya makin bersalah saja aku saat itu. “Maaf,
bu…” Hanya itu yang mampu kuucapkan.
“Iya ngga papa,
ibu ngerti pasti kamu sibuk banget nak. Di situ jadi pengganti orang tua
sekaligus momong banyak orang kan. Ibu
dari kemarin ngga enak makan, pengen dengar suaramu. Tapi sekarang sudah lega,
tahu kamu baik-baik aja di sana. Sabar ya, ngga lama lagi pulang kan?” Rasanya
ada gelombang air mata yang tak terbendung di pelupuk. Tapi kutahan sekuat
mungkin. Sebenarnya, yang harus sabar
bukan Cuma aku, kan? Batinku. Sabarlah, bu.
Begitu juga
dirinya, kurasa. Entah, sesederhana apapun orang tua, mereka tetaplah
bersahaja. Merekalah orang pertama yang memiliki ha katas diri kita. Maka aku
memakluminya. Termasuk jika -seandainya- pesanku tak terbalas, sungguh, itu tak
mengapa. Dia punya hak untuk tidak menyampaikan “salam tidak jelas” tadi, kan?
Ehm, sebenarnya
bukan tidak jelas. Meski aku juga tak benar-benar mengerti, kenapa tiba-tiba aku
begitu saja mengirim salam? Tiba-tiba, ada rasa menganggapnya seperti sahabat
lain, yang ketika pulang selalu ku bilang, “Salam buat ibu, ya.” Karena rasa
terima kasih yang muncul begitu saja.
Ya, rasa terima
kasih pada sang Ibu, karena telah melahirkan anak-anak yang baik untuk menjadi
sahabatku. Tempat berbagi yang begitu mengerti. Rasa terima kasih karena telah
menghadirkan ke dunia ini sosok yang istimewa dengan lakunya. Tentu tak sia-sia
perjalanan berat yang mungkin sudah dilaluinya. Tapi aku bisa merasakan,
kekuatan diri seorang sahabat -yang juga menguatanku di saat tertentu- salah
satunya berasal dari sang ibu.
Baik, nikmatilah
waktu bersama sang muara segala rindu. Cukup bagiku tahu dan menunggu, akankah
salamku sampai pada ibumu? Detik-detik malam bersama semilir angin menyapaku,
menerbangkan sebagian kesadaran bersamanya. Aku terlelap.
Pagi menjelang, mendadak kurasakan ada yang meletup pelan dalam dada. Kupikir pagi itu bersinar terang meski nyatanya sedikit redup. Ajaib? Semua itu terjadi karena satu kalimat yang kubaca di layar: "Iya Ki... disampaikan." #Ops
Pagi menjelang, mendadak kurasakan ada yang meletup pelan dalam dada. Kupikir pagi itu bersinar terang meski nyatanya sedikit redup. Ajaib? Semua itu terjadi karena satu kalimat yang kubaca di layar: "Iya Ki... disampaikan." #Ops
Terima kasih, bu.
0 comments:
Post a Comment