Monday, 2 October 2017

Terima Kasih

| |

“Baru nyampe rumah ibu.” Ujarnya lemah. Mungkin dia lelah. Aku juga, sebenarnya. Menyapanya lewat gelombang suara sebenarnya bukan sekedar pengobat rindu, tapi juga semacam endorphin. Obat penenang yang tak akan ditemukan di apotik manapun. Entah, bersamanya meski tak nyata cukup membuatku merasa tenang, seperi bersama seseorang yang sudah kenal dekat sejak lama. Padahal? Setahun belum ada. Dan kami belum pernah bertatap muka.


“Salam ke Ibu.” Ujarku singkat.

Eh? Sedetik kemudian ada alarm menyala dalam otakku. Salam? Ke Ibu-nya? Sungguh? Tak menyangka aku seberani itu. Siapa aku? Hingga berkirim salam pada… ibu-nya.

Lama tak ada jawaban. Wajar, pikirku. Kalau biasanya aku (yang jarang pulang) ketika baru sampai rumah dan ketemu ibu, lupa dengan HP dan kawan-kawannya. Bahagia tak terkata, hingga lupa waktu untuk sekedar menyapa, cuci kaki dan tangan, makan bersama, dan mengobrol sepuasnya. Lalu kami sadar bahwa malam sudah begitu larut sehingga percakapan itu memiliki tempat istimewa, menggeser posisi kerinduan ke posisi aman.

Tempo hari, saat hari istimewaku tiba, HP yang biasa kugunakan untuk menghubungi ibu lupa dicas. Hari sudah siang ketika aku ingat dan mengisi dayanya. Masih ada HP satu lagi yang bisa dihubungi sebenarnya, dan benar saja, sesaat setelah aku ingat, sudah ada panggilan tak terjawab dari ibu saat kutengok. Rasa bersalah karena mengabaikan panggilan malaikat kesayangan merayap cepat. Aku menelponnya kembali ketika senggang, sekitar satu jam kemudian.

“Masya Allah, sampai ngga sempat telpon ibu ya? Ibu udah kuangen ini ngga dengar suaramu, nak. Dulu dimanapun kamu, hampir tiap hari telepon. Ini di tempat saudara aja bisa betah berminggu-minggu ngga telpon ke rumah?” Nyess, rasanya makin bersalah saja aku saat itu. “Maaf, bu…” Hanya itu yang mampu kuucapkan.

“Iya ngga papa, ibu ngerti pasti kamu sibuk banget nak. Di situ jadi pengganti orang tua sekaligus momong banyak orang kan. Ibu dari kemarin ngga enak makan, pengen dengar suaramu. Tapi sekarang sudah lega, tahu kamu baik-baik aja di sana. Sabar ya, ngga lama lagi pulang kan?” Rasanya ada gelombang air mata yang tak terbendung di pelupuk. Tapi kutahan sekuat mungkin. Sebenarnya, yang harus sabar bukan Cuma aku, kan? Batinku. Sabarlah, bu.

Begitu juga dirinya, kurasa. Entah, sesederhana apapun orang tua, mereka tetaplah bersahaja. Merekalah orang pertama yang memiliki ha katas diri kita. Maka aku memakluminya. Termasuk jika -seandainya- pesanku tak terbalas, sungguh, itu tak mengapa. Dia punya hak untuk tidak menyampaikan “salam tidak jelas” tadi, kan?

Ehm, sebenarnya bukan tidak jelas. Meski aku juga tak benar-benar mengerti, kenapa tiba-tiba aku begitu saja mengirim salam? Tiba-tiba, ada rasa menganggapnya seperti sahabat lain, yang ketika pulang selalu ku bilang, “Salam buat ibu, ya.” Karena rasa terima kasih yang muncul begitu saja.

Ya, rasa terima kasih pada sang Ibu, karena telah melahirkan anak-anak yang baik untuk menjadi sahabatku. Tempat berbagi yang begitu mengerti. Rasa terima kasih karena telah menghadirkan ke dunia ini sosok yang istimewa dengan lakunya. Tentu tak sia-sia perjalanan berat yang mungkin sudah dilaluinya. Tapi aku bisa merasakan, kekuatan diri seorang sahabat -yang juga menguatanku di saat tertentu- salah satunya berasal dari sang ibu.

Baik, nikmatilah waktu bersama sang muara segala rindu. Cukup bagiku tahu dan menunggu, akankah salamku sampai pada ibumu? Detik-detik malam bersama semilir angin menyapaku, menerbangkan sebagian kesadaran bersamanya. Aku terlelap.

Pagi menjelang, mendadak kurasakan ada yang meletup pelan dalam dada. Kupikir pagi itu bersinar terang meski nyatanya sedikit redup. Ajaib? Semua itu terjadi karena satu kalimat yang kubaca di layar: "Iya Ki... disampaikan." #Ops

Terima kasih, bu. 

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©