Ya, belajar. Bahwa dunia tak sesempit pandangan mata. Bahwa
takdir telah terlukis dengan sempurna, tentu istimewa pula caranya menjadi
nyata.
Meski kadang berkalang lara, berselimut duka, bahkan
bersenandung nestapa. Sungguh, bagian itu akan tetap indah jika dijalani dengan
segenap prasangka baik atas kesudahannya, dan rasa percaya bahwa kehendakNya
tak pernah mengarahkan hamba hanya melakoni rasa kecewa.
Novel ini menceritakan, sekaligus mengajarkan bahwa
pernikahan (oh please, soal ini *lagi?) adalah perkara sederhana sekaligus
rumit. Yah, maklum. Bahasan tentang nikah memang ngga ada habisnya. Udah ah, yuk ngomongin novel aja. Kan kita lagi belajar dari salah satu novel terkenal dalam sejarah sastra Indonesia.
Mengapa demikian?
Ya.. Karena pertama:
Jodoh yang dijodoh-jodohkan bisa jadi akhirnya tidak berjodoh, dan jodoh
sesungguhnya bagaimanapun dihalangi tetap saja akhirnya menjadi suami istri. Seberapapun kuat adat menggariskan takdir perjodohan, tetap
saja kalah dengan ketetapan Tuhan. Namun demikian, kekuatan hati dua insan yang menjadi
nakhodanya tetap jadi penentu pertahanan bahtera rumah tangga di sepanjang
perjalanan.
Kedua: benarlah
bahwa jodoh adalah cermin. Pantulan diri dalam pribadi berbeda jenis kelamin.
Mungkin hal ini mudah disangkal karena banyaknya pasangan dengan karakter yang
saling bertolak belakang. Namun jika diamati lebih jauh, selalu ada benang
merah yang seirama diantara keduanya.
Ketiga:
beruntunglah kita, atau siapapun jua yang memiliki orang tua bijaksana. Tak
hendak memaksakan pernikahan harus terjadi dengan siapa, tak perlu menentukan
masa depan harus seperti apa.
Keempat: jadi perempuan itu harus kuat. Baik fisik, mental,
juga akal. Secara fisik, pasca eprnikahan perempuan akan diuji untuk
menyelesaikan pekerjaan rumah yang jika dituruti, seolah tak ada habisnya. Mulai
dari membuka mata hingga terpejam meski tanpa rencana. Tentu dengan hasil luar
biasa: rumah tertata, makanan tersedia, dan rasa nyaman siapapun untuk tinggal
berlama-lama. Bermalas-malasan mungkin tidak ada yang melarang, tapi tentu saja
pekerjaan rumah yang tidak diselesaikan hanya akan membuat mata lelah, tubuh
mudah bosan dan jauhd ari rasa nyaman yang didambakan.
Secara mental, ujian akan datang dalam bentuk hubungan
sosial baru di lingkungan pasangan. Mungkin tak semua orang bisa dengan mudah
menerima. Tetaplah berbaik sangka dan melakukan yang terbaik di setiap
kesempatan. Biarkan orang lain menilai dari tindakan, bukan sekedar ucapan.
Kalau ngga kuat? Bisa mental alias
terpelanting, menjauh dari pokok kehidupan dan jatuh sembarangan.
Secara akal, perempuan diuji untuk bertahan, memikat
perasaan, sekaligus menjadi pengajar yang handal. Usahlah diperinci lagi karena
pasti bisa kau pahami perkara sederhana ini.
Jadi perempuan itu harus pandai memasak, mematut, juga
menjaga diri. Ini bukan perkara kecentilan atau semacamnya, memang fitrah
perempuan demikian adanya.
Kelima: siap menikah itu bukan berarti hanya siap dengan
kesenangannya saja. Namun lebih dari itu, harus siap menanggung konsekwensi
dari kehidupan yang sebelumnya sendiri menjadi berdua, kemudian bertiga dan
terus bertambah dengan kehadiran anak-anak.
Keenam: alangkah bijak nenek yang berpikir: justru bangsawan
yang berpangkat tinggi itulah yang harus mengetahui segala kepandaian yang
berguna bagi orang biasa, supaya dia dapat memberi petunjuk kepada mereka yang
harus mengerjakannya. Kemudian sang nenek mengajarkan segala ihwal wanita
berumah tangga. Mulai dari bangun pagi, menuju dapur, memilih dan memilah
pekerjaan mana yang harus didahulukan, membersihkan mana yang harus
disegerakan, lalu menata dan merapikan, membersihkan sisa kreatifitas, mengurus
suami dan anak tanpa meninggalkan kewajiban pribadi sebagai hamba, dan
sebagainya.
Ini seperti: meninggikan budi, merendahkan hati.
Eh, tau kan novel apa ini? Ya, betul! Memang Jodoh- karya Marah Rusli.
Saya belum selesai baca, mungkin tulisan ini bisar bertambah nanti, jika ada yang perlu di catat lagi.
0 comments:
Post a Comment