Sunday, 24 December 2017

Sahabatku Pergi

| |




Pagi hari Sabtu yang lalu, 16 Desember 2017.


Teman-teman, mohon doanya untuk sahabat kita, Puguh Prasetyo yang sekarang sedang dirawat di RS Dr. Soetomo karena kecelakaan di Sidoarjo.

Dalam sekejap, group alumni SMA Muhammadiyah 1 Jombang ramai ucapan doa dan harapan. Beredar pula foto-foto yang langsung membuatku giris. Pertama, foto orang yang sangat kukenal tebaring tak berdaya dengan sesuatu menancap diperutnya. Apa itu? Batinku ngilu. Lalu tak lama kemudian, foto demi foto berdatangan, yang paling membuatku terbelalak adalah fotonya berdiri (mungkn berjalan karena gambarnya sedikit kabur) sambil memegangi sesuatu seperti besi yang menancap di perutnya.

Ya Allah, apakah dia akan baik-baik saja?

Kalimat itu terngiang dalam kepalaku, bersama doa yang deras mengalir untuknya. Semoga dia kuat, pertolongannya didapat dengan tepat, dirawat dengan baik, semoga segera kembali pulih. Betapa kuat fisiknya setelah terluka begitu masih sadar dan berjalan sendiri? Tulangku serasa lemas melihat beita itu. Tak sanggup lagi mengetik untaian doa dan mengirimnya ke group. Lagipula, untuk apa? Doa itu harus langsung menuju Allah, bukan grup Whatssapp, kan?

Saat itu, aku baru pulang dari sepekan penuh perjalanan Jombang-Klaten-Salatiga-Jombang-Pare-Jombang lagi. Secara fisik tubuhku mulai melemah. Ditambah berita tentang seorang yang bukan sekedar teman, begitu terluka, rasanya ingin sekali kuambil sebagian rasa sakitnya. Biar dia tak begitu menderita.

Puguh Prasetyo, dia adalah sahabat sekaligus saudara yang kutemui dalam usia menjelang dewasa. Pembawaannya selalu ceria, sedikit tempramen ketika ada orang yang mengusik privasi atau siapapun yang sudah dianggapnya sebagai “keluarga”, dan aku adalah salah satunya. Kedekatan kami terjalin bersama sembilan remaja lain yang tergabung dalam sebuah organisasi kepanduan. Aku lebih suka memanggilnya “Ucup”, ketimbang “Puguh”. Ya, rasanya lebih akrab dan dia tak keberatan.

Siapakah sembilan remaja yang lain? Ada Rahman, Fery, Said, Rouf, Salman, Rahmat, Rifqi, Boim, Heri, dan aku. Cewek sendiri? iya. Aku jadi seperti adik bagi mereka, sekaligus dianggap sebagai induk yang paling galak. Apa yang kumau, mereka harus menurut, kecuali ketika kepala suku sudah mengambil keputusan, aku tak berdaya. Yang pasti, mereka menjagaku layaknya Mutiara. Tak seorangpun merasa berhak menyentuh apalagi merusakku.

Perjalanan persahabatan kami layaknya remaja lain, ada drama percintaan, pertengkaran, dan canda tawa yang tak tergantikan. Masih sangat kuingat nasehatnya kala itu, “Ki, kamu jangan sekali-kali pacaran. Cukup aku yang tahu betapa merusaknya perbuatan itu. Kamu jangan. Tetaplah jadi wanita yang terjaga untuk lelaki terbaik yang akan menjemputmu kelak sebagai bidadarinya.” Aku hanya memutar bola mata mendengar kata-katanya.

“Enak aja ya, cowok itu maunya enak doang. Udah pacaran, pengennya dapet cewek baik-baik jadiin istri?” Protesku.

“Iya. Sebejat-bejatnya lelaki, dia pasti menginginkan wanita yang baik untuk menjadi istrinya. Wanita yang baik menjadi ibu dari anak-anaknya.” DIa tak membantah, lihatlah! Memang begitulah fitrah lelaki.

“Tapi kamu harus ingat, lelaki yang baik adalah untuk wanita yang baik, begitu sebaliknya. Ayat Allah ngga bisa diputar balik, Ki. Kamu harus yakin itu.” Kali ini aku tak bisa membantah. Allah tak akan menjodohkanku dengan orang yang salah, kan?

***

Aku terus mencari berita pasca kecelakaan Ucup. Bagaimana kondisinya? Keluarganya? Ingin sekali segera bisa ke Surabaya dan menyapanya. Tapi aku belum bisa. “Maafkan aku, Cup. Mash banyak yang harus kuselesaikan di sini. Kau pasti mengerti. Seperti dulu, kau selalu bisa mengerti.” Rasa hatiku bukan tanpa alasan. Dia memang selalu begitu, baik padaku, pada kami, Gen HW ’06.

Rasanya lega mendengar kabar bahwa operasi demi operasi yang harus dijalaninya berjalan lancar dan berhasil. Setelah itu, kami bisa merasa tenang. Rencanaya, saat libur nanti kukunjungi dia ke rumah sakit atau ke rumahnya. Sekalian silaturrahmi. Sudah lama sekali kami tak berjumpa.

Dulu, kami bersama setiap hari. Ya karena sekolah mempertemukan kami. Kecuali jika dia atau teman-teman lain memilih bolos, tak perlu ditanya mereka kemana. Pasti tidur, atau menghabiskan waktu di rumah Ucup. Setelah lulus sekolah, kami masih sering bertemu, entah beberapa bulan sekali atau beberapa minggu sekali.

Setelah sibuk dengan pekerjaan, satu persatu teman-teman menikah, kami semakin jarang bertemu. Paling setahun sekali saat hari raya. Itupun sering tertunda. Sehingga setiap detik pertemuan terasa begitu berharga. Hingga setahun terakhir ini, kami semakin jarang berkomunikasi. Aku khawatir mengganggu kesibukannya. Begitu juga mungkin dengannya. Lagipula, tak baik bukan menghubungi teman yang sudah menikah tanpa kepentingan yang benar-benar penting?

Meskipun dalam kamus kami, pasangan adalah bagian dari keluarga besar persahabatan yang sudah terjalin sejak kami SMA. Rahman dan Heri yang bertugas sebagai abdi negara, Ucup sendiri dinas di pelabuhan, Fery, Said, Rouf, Boim, Salman, semua sudah sibuk dengan  keluarga dan pekerjaan masing-masing. Aku sendiri? semakin jauh dari keakraban yang dulu.

Sampai pagi kemarin….

Kembali datang kabar mengejutkan.

Ucup Meninggal

Ya, aku tak salah baca. Tapi rasanya begitu sulit untuk percaya. Bukankah dia sudah baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba Allah memanggilnya?

Lemas rasanya sekujur badan. Pagi ba’da shubuh itu terasa begitu kelabu. “Cup, sudah lama sekali kita tak bercanda. Aku rindu. Lalu kemana kucari dirimu jika sudah pergi lebih dulu?” Aku tak ingin percaya, tapi ini nyata!.

Pagi tanggal 23 Desember 2017, Ucup meninggal. Rasanya tak ingin rela, tapi aku bisa apa? Allah pemilik nyawa telah memangilnya. Ah, Cup… aku mengerti bahwa kau harus benar-benar pergi.

Setelah rasa sakit yang tak terkira, beban hati yang tak terkata, masalah hidup yang tak ingin kau bagi dnegan siapa-siapa, kau begitu istimewa. Canda dan tawamu seperti biasa kutahu sebagai pelipur lara. Kau bahagia, selalu bahagia saat kita bersama. Seolah kita sudah bersaudara jauh Sebelum lahir ke dunia.

Aku ikhlas kau harus pergi, Cup. Kau tak akan pernah kembali. Seperti kami yang juga sedang menuju masa itu, masa yang ada dalam perjalananmu kini. Kau tak akan pernah kembali, Kamilah yang akan menyusulmu nanti. Baik-baiklah kau di sana, bersama pemilik semesta yang Maha baik kepada setiap hamba. Terima kasih untuk nasehatmu yang terakhir, 16 November yang lalu. Kan kuingat selalu apa katamu. Percayalah, aku tidak sedang menunda menuruti inginmu, agar aku segera menyempurnakan separuh agama? Aku tidak sedang menunda, kawan. Hanya seperti yang kau bilang, aku menunggu lelaki pemberani yang yakin untuk menjemputku, menemani separuh agama dan sisa perjalanan hidupnya. Lelaki terbaik seperti katamu, yang menjaga diri karenaNya.



Selamat jalan, kawan. Sampai jumpa di penggalan perjalanan berikutnya. Kami ikhlas kau tak berpamitan. Bukankah kita sudah berjanji untuk sepenuhnya  percaya bahwa tak satupun ketetapanNya sia-sia?

#OneDayOnePost
#Rindu

4 comments:

Unknown said...

Merinding bacanya masss 😢, semoga khusnul khatimah

Musabbiha el Abwa said...

allhamumaghfirlahu warhamhu wa'fihi wa'fuanhu

Wakhid Syamsudin said...

Ya Robbi, semoga almarhum diterima di sisi-Nya dan ditempatkan di tempat terbaik. AAmiin...

Ciani Limaran said...

Turut berduka cita kak..
Bener sekali... kita yg akan menyusulnya... pasti...

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©