Pagi hari
Sabtu yang lalu, 16 Desember 2017.
Teman-teman, mohon doanya untuk sahabat
kita, Puguh Prasetyo yang sekarang sedang dirawat di RS Dr. Soetomo karena
kecelakaan di Sidoarjo.
Dalam sekejap,
group alumni SMA Muhammadiyah 1 Jombang ramai ucapan doa dan harapan. Beredar pula
foto-foto yang langsung membuatku giris. Pertama, foto orang yang sangat kukenal
tebaring tak berdaya dengan sesuatu menancap diperutnya. Apa itu? Batinku ngilu.
Lalu tak lama kemudian, foto demi foto berdatangan, yang paling membuatku
terbelalak adalah fotonya berdiri (mungkn berjalan karena gambarnya sedikit
kabur) sambil memegangi sesuatu seperti besi yang menancap di perutnya.
Ya Allah, apakah dia akan baik-baik saja?
Kalimat itu
terngiang dalam kepalaku, bersama doa yang deras mengalir untuknya. Semoga dia kuat,
pertolongannya didapat dengan tepat, dirawat dengan baik, semoga segera kembali
pulih. Betapa kuat fisiknya setelah terluka begitu masih sadar dan berjalan
sendiri? Tulangku serasa lemas melihat beita itu. Tak sanggup lagi mengetik
untaian doa dan mengirimnya ke group. Lagipula, untuk apa? Doa itu harus
langsung menuju Allah, bukan grup Whatssapp, kan?
Saat itu, aku
baru pulang dari sepekan penuh perjalanan Jombang-Klaten-Salatiga-Jombang-Pare-Jombang
lagi. Secara fisik tubuhku mulai melemah. Ditambah berita tentang seorang yang
bukan sekedar teman, begitu terluka, rasanya ingin sekali kuambil sebagian rasa
sakitnya. Biar dia tak begitu menderita.
Puguh
Prasetyo, dia adalah sahabat sekaligus saudara yang kutemui dalam usia
menjelang dewasa. Pembawaannya selalu ceria, sedikit tempramen ketika ada orang
yang mengusik privasi atau siapapun yang sudah dianggapnya sebagai “keluarga”,
dan aku adalah salah satunya. Kedekatan kami terjalin bersama sembilan remaja
lain yang tergabung dalam sebuah organisasi kepanduan. Aku lebih suka
memanggilnya “Ucup”, ketimbang “Puguh”. Ya, rasanya lebih akrab dan dia tak
keberatan.
Siapakah sembilan
remaja yang lain? Ada Rahman, Fery, Said, Rouf, Salman, Rahmat, Rifqi, Boim, Heri, dan
aku. Cewek sendiri? iya. Aku jadi seperti adik bagi mereka, sekaligus dianggap
sebagai induk yang paling galak. Apa yang kumau, mereka harus menurut, kecuali
ketika kepala suku sudah mengambil keputusan, aku tak berdaya. Yang pasti,
mereka menjagaku layaknya Mutiara. Tak seorangpun merasa berhak menyentuh
apalagi merusakku.
Perjalanan persahabatan
kami layaknya remaja lain, ada drama percintaan, pertengkaran, dan canda tawa
yang tak tergantikan. Masih sangat kuingat nasehatnya kala itu, “Ki, kamu
jangan sekali-kali pacaran. Cukup aku yang tahu betapa merusaknya perbuatan
itu. Kamu jangan. Tetaplah jadi wanita yang terjaga untuk lelaki terbaik yang
akan menjemputmu kelak sebagai bidadarinya.” Aku hanya memutar bola mata
mendengar kata-katanya.
“Enak aja ya,
cowok itu maunya enak doang. Udah pacaran, pengennya dapet cewek baik-baik
jadiin istri?” Protesku.
“Iya. Sebejat-bejatnya
lelaki, dia pasti menginginkan wanita yang baik untuk menjadi istrinya. Wanita yang
baik menjadi ibu dari anak-anaknya.” DIa tak membantah, lihatlah! Memang
begitulah fitrah lelaki.
“Tapi kamu
harus ingat, lelaki yang baik adalah untuk wanita yang baik, begitu sebaliknya.
Ayat Allah ngga bisa diputar balik, Ki. Kamu harus yakin itu.” Kali ini aku tak
bisa membantah. Allah tak akan menjodohkanku dengan orang yang salah, kan?
***
Aku terus
mencari berita pasca kecelakaan Ucup. Bagaimana kondisinya? Keluarganya? Ingin sekali
segera bisa ke Surabaya dan menyapanya. Tapi aku belum bisa. “Maafkan aku, Cup.
Mash banyak yang harus kuselesaikan di sini. Kau pasti mengerti. Seperti dulu,
kau selalu bisa mengerti.” Rasa hatiku bukan tanpa alasan. Dia memang selalu
begitu, baik padaku, pada kami, Gen HW ’06.
Rasanya lega
mendengar kabar bahwa operasi demi operasi yang harus dijalaninya berjalan
lancar dan berhasil. Setelah itu, kami bisa merasa tenang. Rencanaya, saat
libur nanti kukunjungi dia ke rumah sakit atau ke rumahnya. Sekalian silaturrahmi.
Sudah lama sekali kami tak berjumpa.
Dulu, kami
bersama setiap hari. Ya karena sekolah mempertemukan kami. Kecuali jika dia
atau teman-teman lain memilih bolos, tak perlu ditanya mereka kemana. Pasti tidur,
atau menghabiskan waktu di rumah Ucup. Setelah lulus sekolah, kami masih sering
bertemu, entah beberapa bulan sekali atau beberapa minggu sekali.
Setelah sibuk
dengan pekerjaan, satu persatu teman-teman menikah, kami semakin jarang
bertemu. Paling setahun sekali saat hari raya. Itupun sering tertunda. Sehingga
setiap detik pertemuan terasa begitu berharga. Hingga setahun terakhir ini,
kami semakin jarang berkomunikasi. Aku khawatir mengganggu kesibukannya. Begitu
juga mungkin dengannya. Lagipula, tak baik bukan menghubungi teman yang sudah
menikah tanpa kepentingan yang benar-benar penting?
Meskipun dalam
kamus kami, pasangan adalah bagian dari keluarga besar persahabatan yang sudah
terjalin sejak kami SMA. Rahman dan Heri yang bertugas sebagai abdi negara,
Ucup sendiri dinas di pelabuhan, Fery, Said, Rouf, Boim, Salman, semua sudah
sibuk dengan keluarga dan pekerjaan
masing-masing. Aku sendiri? semakin jauh dari keakraban yang dulu.
Sampai pagi
kemarin….
Kembali datang
kabar mengejutkan.
Ucup Meninggal
Ya, aku tak
salah baca. Tapi rasanya begitu sulit untuk percaya. Bukankah dia sudah
baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba Allah memanggilnya?
Lemas rasanya
sekujur badan. Pagi ba’da shubuh itu terasa begitu kelabu. “Cup, sudah lama
sekali kita tak bercanda. Aku rindu. Lalu kemana kucari dirimu jika sudah pergi
lebih dulu?” Aku tak ingin percaya, tapi ini nyata!.
Pagi tanggal
23 Desember 2017, Ucup meninggal. Rasanya tak ingin rela, tapi aku bisa apa?
Allah pemilik nyawa telah memangilnya. Ah, Cup… aku mengerti bahwa kau harus
benar-benar pergi.
Setelah rasa
sakit yang tak terkira, beban hati yang tak terkata, masalah hidup yang tak
ingin kau bagi dnegan siapa-siapa, kau begitu istimewa. Canda dan tawamu
seperti biasa kutahu sebagai pelipur lara. Kau bahagia, selalu bahagia saat
kita bersama. Seolah kita sudah bersaudara jauh Sebelum lahir ke dunia.
Aku ikhlas kau
harus pergi, Cup. Kau tak akan pernah kembali. Seperti kami yang juga sedang
menuju masa itu, masa yang ada dalam perjalananmu kini. Kau tak akan pernah
kembali, Kamilah yang akan menyusulmu nanti. Baik-baiklah kau di sana, bersama
pemilik semesta yang Maha baik kepada setiap hamba. Terima kasih untuk
nasehatmu yang terakhir, 16 November yang lalu. Kan kuingat selalu apa katamu. Percayalah,
aku tidak sedang menunda menuruti inginmu, agar aku segera menyempurnakan
separuh agama? Aku tidak sedang menunda, kawan. Hanya seperti yang kau bilang,
aku menunggu lelaki pemberani yang yakin untuk menjemputku, menemani separuh
agama dan sisa perjalanan hidupnya. Lelaki terbaik seperti katamu, yang menjaga
diri karenaNya.
Selamat jalan,
kawan. Sampai jumpa di penggalan perjalanan berikutnya. Kami ikhlas kau tak berpamitan.
Bukankah kita sudah berjanji untuk sepenuhnya percaya bahwa tak satupun ketetapanNya
sia-sia?
#OneDayOnePost
#Rindu
4 comments:
Merinding bacanya masss 😢, semoga khusnul khatimah
allhamumaghfirlahu warhamhu wa'fihi wa'fuanhu
Ya Robbi, semoga almarhum diterima di sisi-Nya dan ditempatkan di tempat terbaik. AAmiin...
Turut berduka cita kak..
Bener sekali... kita yg akan menyusulnya... pasti...
Post a Comment