Perpisahan itu harus dibiarkan ada karena
kita masih berharap pertemuan di masa depan.
Itu katanya,
dulu. Dia yang bilang begitu. Membuatku mengikhlaskan setiap perpisahan yang
harus terjadi. Kemudian berharap pada pertemuan demi pertemuan, tanpa henti.
Aku rindu, selalu. Pada pertemuan demi pertemuan yang mengharu biru. Pada
senyum yang membuat istrimu cemburu melihatku. Karena aku lebih cantik? Tidak.
Karena tampak sekali kamu lebih sayang aku ketimbang istri saat kita tenggelam
dalam lautan rindu.
Seolah waktu
begitu magis mencipta temu.
@@@
Angin siang bertiup
syahdu. Aku melangkahkan kaki dengan sedikit ragu. Pemakaman ini terasa
berhantu. Meski mentari tak begitu terik, harusnya udara tak sedingin ini di
lingkungan perumahan yang padat. Kakiku sedikit berjingkat menghindari beberapa
nisan. Sambil mata terus menelusuri nama demi nama.
Abdullah bin
Hasan
Tarjo bin Tarno
Sumiyah binti
Mahmud
Dug!
Aku terhuyung,
hampir saja terjatuh kalau tak gesit meraih pohon kamboja di sebelah kiri.
“Maaf,” lirihku, menyesali kaki kanan yang tak punya mata, menabrak nisan kecil
tanpa nama begitu saja.
Seketika lututku
lemas usai membaca namamu. Kutarik paksa kaki yang sebelah untuk melangkah, lalu
terduduk di depan pusaramu. Wangi daun pandan menyeruak, bercampur dengan wangi
bunga tanjung dan kamboja yang setengah mengering. Aku bersimpuh, memanjatkan
doa kepada yang kuasa, memintakan ampunan atas dosa-dosa, dan semoga engkau
bahagia selalu di alam sana.
Hari ini, belum
genap empat puluh hari kepergianmu. Betapa keterlaluan diriku, takt ahu malu,
hingga baru bisa mengunjungimu, di “rumah” yang baru.
Iya, ini aku, Cup. Assalamu’alaikum…
Kubayangkan engkau
tersenyum menyambut dan menjawab salamku, di pintu rumah yang tidak megah, namun
cukup nyaman. Meski lama tak berjumpa, aku tahu kau selalu memamerkan senyum
bahagia sebelum memulai kata. Namun kali ini, aku tak membalasnya. Ada sendu
yang menyeruak tiba-tiba, menyisakan pilu dalam hati yang merindukanmu.
Cup, hari ini teman-teman ngajakin kemah. Harusnya
kamu disini. Gabung sama mereka yang lagi bakar ikan dan makan enak di rumah
Rahman.
Itu suara hatiku,
yang belum rela engkau benar-benar tak bisa lagi bergabung bersama.
Kamu ngga datang? Gabunglah, mereka pasti
senang melihatmu, yang sekarang sudah menyandang gelar dua sarjana dan tumbuh
semakin dewasa.
Kira-kira,
begitu kau menanggapi kalimatku.
Ferry kemarin kirim WA, ngasih undangan dan
memastikan aku bisa datang. Salman juga, nanya apa aku bisa gabung bersama
mereka? Dan hari ini, Rouf bertanya di group atas kesanggupanku ikut kemah itu.
Jawabku sambil
terus menatap pusaramu yang diam.
Rahman?
Rupanya, nama
itu juga yang akhirnya kau tanyakan.
Tidak, dia terlalu sibuk untuk mengingatku.
Jawabku singkat.
Ya, aku tak punya kalimat yang panjang tentangnya sekarang.
“Jangan gitu, kamu kesal sama dia?”
Cup, apa kamu
sungguh-sungguh menanyakan itu? Ada tanda tanya besar yang muncul begitu saja, namun akhirnya kujawab juga,
Aku tak pernah bisa menyesal mengenalnya, apalagi
memendam kesal tanpa alasan apa-apa. Dia baik, selalu baik. Aku mengenalnya, Cup.
Apa kau lupa?
Engkau hanya
tersenyum menatapku. Semerbak pusaramu menenangkanku. Padahal sudah berpuluh
hari potongan bunga dan daun pandan itu tertimpa panas dan hujan, masih bisa
mewangi dan menebar ketenangan? sesaat, aku takjub.
Dia juga merindukanmu, seharusnya. Tapi kenapa
tak menghubungimu dan memaksamu ikut acara itu?
Rupanya kau
lupa, dia lelaki paling terjaga diantara semuanya. Justru karena ingin
menjagaku, tak sekalipun pesan masuk dan memaksaku bergabung dengan mereka. Justru
karena rindu itu ada, tak seucap katapun dilemparnya untukku. Dia bukan kamu, Cup.
Dan mereka, tak akan pernah bisa sama sepertimu.
Yang jelas
sekarang, aku rindu kamu. Entah kata rindu keberapa yang kuucap hari ini, ketiga atau kelima, aku tak peduli lagi. Aku
rindu, padamu dan juga mereka. Kalau mereka kira aku bergitu keras kepala,
karena tak mau menuruti agenda yang begitu istimewa, apakah mereka lupa bahwa
fitrahku tak lagi belia?
Cup, mereka
bukan kamu dan tak akan pernah bisa menggantikan kehadiranmu untukku. Di saat
seperti ini mereka bisa berkata, “Datanglah, mumpung ada waktu, kapan lagi kita
bisa bermain bersama?” Mereka tak pernah tahu sikapmu yang tak sekedar menawarkan
undangan, tapi jemputan lengkap dengan semua fasilitas sehingga aku benar-benar
bergabung bersama kalian.
Sebuah pemaksaan
tanpa keterpaksaan, dan semua itu tak tergantikan. Kadang aku berpikir, mereka
tak pernah merindukanku seperti dulu. Tapi aku tahu kau pasti marah jika aku
berpikir begitu. Entahlah, Cup. Kepergianmu membawa banyak hal dari
persahabatan ini. Dan memaksaku untuk tidak merasakan kehilangan lagi.
Hari semakin sore. Sebuah guncangan pelan menyadarkanku. "Dek?" Itu suara kakak perempuanku, dia menemaniku mengunjungi pusaramu. Kau kenal dia, kan?
"Apa yang Ucup katakan terakhir kali sebelum dia pergi?" Aku diam, lama. Menceritakan nasehatmu selalu membuat dada tersengal, nafasku tak lagi bisa tenang. Air mata begitu saja mengambang.
"Kalau kau ingin harapanmu segera terkabul, kau tak cukup menjadi hamba bagiNya. Jadilah kekasihNya, agar Dia segera menghadirkan seorang lelaki pilihan, untuk dunia dan akhiratmu."
"Sungguh, Ucup berkata begitu?" Dia seolah tak percaya. Karena kau tau, Cup. Betapa konyol hidupmu saat kita masih sering bersama, bahkan untuk mengigat Tuhan saja kadang kau perlu diingatkan, bukan? Tapi kebaikan seseorang akan tampak pada akhir hidupnya. Dan bagiku, akhir hidupmu begitu istimewa. terlepas dari betapa tragis caramu pergi, kau menyisakan kebaikan tak bertepi.
"Iya, mbak. Dia bilang kalau dia bukan ahli agama. Tapi dia sungguh-sungguh memintaku untuk jadi kekasihNya. Agar apa yang kulangitkan dalam do'a-do'a, segera jadi nyata."
Lalu air mata semakin menderas, menenggelamkanku dalam barisan kata-kata yang tak sanggup mengudara.
#30DWC
#Day3
4 comments:
Pukan Bukan sih? Lupa nama aslinya
dikira "cup" itu dr bhs Inggris, hahaha...
Ada typo dikit nih "... diriku, takt ahu malu,"
Si ucup ini, kayanya memang slalu teristimewa ya mba?
Perpisahan saat ini, semoga nanti bisa berjumpa. "Cup"
Post a Comment