Saturday, 13 January 2018

Cup…

| |



Perpisahan itu harus dibiarkan ada karena kita masih berharap pertemuan di masa depan.


Itu katanya, dulu. Dia yang bilang begitu. Membuatku mengikhlaskan setiap perpisahan yang harus terjadi. Kemudian berharap pada pertemuan demi pertemuan, tanpa henti. Aku rindu, selalu. Pada pertemuan demi pertemuan yang mengharu biru. Pada senyum yang membuat istrimu cemburu melihatku. Karena aku lebih cantik? Tidak. Karena tampak sekali kamu lebih sayang aku ketimbang istri saat kita tenggelam dalam lautan rindu.

Seolah waktu begitu magis mencipta temu.

@@@

Angin siang bertiup syahdu. Aku melangkahkan kaki dengan sedikit ragu. Pemakaman ini terasa berhantu. Meski mentari tak begitu terik, harusnya udara tak sedingin ini di lingkungan perumahan yang padat. Kakiku sedikit berjingkat menghindari beberapa nisan. Sambil mata terus menelusuri nama demi nama.

Abdullah bin Hasan
Tarjo bin Tarno
Sumiyah binti Mahmud
Dug!

Aku terhuyung, hampir saja terjatuh kalau tak gesit meraih pohon kamboja di sebelah kiri. “Maaf,” lirihku, menyesali kaki kanan yang tak punya mata, menabrak nisan kecil tanpa nama begitu saja.

Puguh Prasetyo


Seketika lututku lemas usai membaca namamu. Kutarik paksa kaki yang sebelah untuk melangkah, lalu terduduk di depan pusaramu. Wangi daun pandan menyeruak, bercampur dengan wangi bunga tanjung dan kamboja yang setengah mengering. Aku bersimpuh, memanjatkan doa kepada yang kuasa, memintakan ampunan atas dosa-dosa, dan semoga engkau bahagia selalu di alam sana.

Hari ini, belum genap empat puluh hari kepergianmu. Betapa keterlaluan diriku, takt ahu malu, hingga baru bisa mengunjungimu, di “rumah” yang baru.

Iya, ini aku, Cup. Assalamu’alaikum…

Kubayangkan engkau tersenyum menyambut dan menjawab salamku, di pintu rumah yang tidak megah, namun cukup nyaman. Meski lama tak berjumpa, aku tahu kau selalu memamerkan senyum bahagia sebelum memulai kata. Namun kali ini, aku tak membalasnya. Ada sendu yang menyeruak tiba-tiba, menyisakan pilu dalam hati yang merindukanmu.

Cup, hari ini teman-teman ngajakin kemah. Harusnya kamu disini. Gabung sama mereka yang lagi bakar ikan dan makan enak di rumah Rahman.

Itu suara hatiku, yang belum rela engkau benar-benar tak bisa lagi bergabung bersama.

Kamu ngga datang? Gabunglah, mereka pasti senang melihatmu, yang sekarang sudah menyandang gelar dua sarjana dan tumbuh semakin dewasa.

Kira-kira, begitu kau menanggapi kalimatku.

Ferry kemarin kirim WA, ngasih undangan dan memastikan aku bisa datang. Salman juga, nanya apa aku bisa gabung bersama mereka? Dan hari ini, Rouf bertanya di group atas kesanggupanku ikut kemah itu.

Jawabku sambil terus menatap pusaramu yang diam.

Rahman?

Rupanya, nama itu juga yang akhirnya kau tanyakan.

Tidak, dia terlalu sibuk untuk mengingatku.

Jawabku singkat. Ya, aku tak punya kalimat yang panjang tentangnya sekarang.

“Jangan gitu, kamu kesal sama dia?”

Cup, apa kamu sungguh-sungguh menanyakan itu? Ada tanda tanya besar yang muncul begitu saja, namun akhirnya kujawab juga,

Aku tak pernah bisa menyesal mengenalnya, apalagi memendam kesal tanpa alasan apa-apa. Dia baik, selalu baik. Aku mengenalnya, Cup. Apa kau lupa?

Engkau hanya tersenyum menatapku. Semerbak pusaramu menenangkanku. Padahal sudah berpuluh hari potongan bunga dan daun pandan itu tertimpa panas dan hujan, masih bisa mewangi dan menebar ketenangan? sesaat, aku takjub.

Dia juga merindukanmu, seharusnya. Tapi kenapa tak menghubungimu dan memaksamu ikut acara itu?

Rupanya kau lupa, dia lelaki paling terjaga diantara semuanya. Justru karena ingin menjagaku, tak sekalipun pesan masuk dan memaksaku bergabung dengan mereka. Justru karena rindu itu ada, tak seucap katapun dilemparnya untukku. Dia bukan kamu, Cup. Dan mereka, tak akan pernah bisa sama sepertimu.

Yang jelas sekarang, aku rindu kamu. Entah kata rindu keberapa yang kuucap hari ini, ketiga atau kelima, aku tak peduli lagi. Aku rindu, padamu dan juga mereka. Kalau mereka kira aku bergitu keras kepala, karena tak mau menuruti agenda yang begitu istimewa, apakah mereka lupa bahwa fitrahku tak lagi belia?

Cup, mereka bukan kamu dan tak akan pernah bisa menggantikan kehadiranmu untukku. Di saat seperti ini mereka bisa berkata, “Datanglah, mumpung ada waktu, kapan lagi kita bisa bermain bersama?” Mereka tak pernah tahu sikapmu yang tak sekedar menawarkan undangan, tapi jemputan lengkap dengan semua fasilitas sehingga aku benar-benar bergabung bersama kalian.


Sebuah pemaksaan tanpa keterpaksaan, dan semua itu tak tergantikan. Kadang aku berpikir, mereka tak pernah merindukanku seperti dulu. Tapi aku tahu kau pasti marah jika aku berpikir begitu. Entahlah, Cup. Kepergianmu membawa banyak hal dari persahabatan ini. Dan memaksaku untuk tidak merasakan kehilangan lagi.

Hari semakin sore. Sebuah guncangan pelan menyadarkanku. "Dek?" Itu suara kakak perempuanku, dia menemaniku mengunjungi pusaramu. Kau kenal dia, kan?

"Apa yang Ucup katakan terakhir kali sebelum dia pergi?" Aku diam, lama. Menceritakan nasehatmu selalu membuat dada tersengal, nafasku tak lagi bisa tenang. Air mata begitu saja mengambang.
"Kalau kau ingin harapanmu segera terkabul, kau tak cukup menjadi hamba bagiNya. Jadilah kekasihNya, agar Dia segera menghadirkan seorang lelaki pilihan, untuk dunia dan akhiratmu."
"Sungguh, Ucup berkata begitu?" Dia seolah tak percaya. Karena kau tau, Cup. Betapa konyol hidupmu saat kita masih sering bersama, bahkan untuk mengigat Tuhan saja kadang kau perlu diingatkan, bukan? Tapi kebaikan seseorang akan tampak pada akhir hidupnya. Dan bagiku, akhir hidupmu begitu istimewa. terlepas dari betapa tragis caramu pergi, kau menyisakan kebaikan tak bertepi.

"Iya, mbak. Dia bilang kalau dia bukan ahli agama. Tapi dia sungguh-sungguh memintaku untuk jadi kekasihNya. Agar apa yang kulangitkan dalam do'a-do'a, segera jadi nyata."

Lalu air mata semakin menderas, menenggelamkanku dalam barisan kata-kata yang tak sanggup mengudara.

#30DWC
#Day3

4 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

Pukan Bukan sih? Lupa nama aslinya

Dwi Septiyana said...

dikira "cup" itu dr bhs Inggris, hahaha...

Ada typo dikit nih "... diriku, takt ahu malu,"

Rene Usshy said...

Si ucup ini, kayanya memang slalu teristimewa ya mba?

Ilmi Tamami said...

Perpisahan saat ini, semoga nanti bisa berjumpa. "Cup"

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: CompartidĂ­simo
Images by: DeliciousScraps©