Sunday, 21 January 2018

Pergi (2)

| |


Ambang pintu rumahnya tertutup rapat, halaman dan isinya tampak lengang. Aku memilih meneruskan pejalanan. Dia sudah pergi.

“Apa kau sangat berharap bertemu dengannya?” Suara dalam kepalaku bertanya nyaring. Sehingga menimbulkan bunyi: ngiiing.. “Aw!” Gaduhku sambil memegang kepala yang nyeri. Mungkin ini hanya akibat lelah seharian mengikuti seminar kepenulisan, atau karena semalam kurang tidur. Motor kulajukan dengan kecepatan sedang. Khawatir jika terlalu cepat, tidak bisa menjaga keseimbangan. Jika terlalu lambat, perjalanan menjadi lebih panjang.

“Apa kau sangat berharap bertemu dengannya?” Pertanyaan itu berulang kala nyeri dalam kepala perlahan menghilang. Hatiku bimbang. Menimbang perasaan yang entah, terombang-ambing oleh ketidakpastian.

Dua atau tiga tahun, aku tidak sekalipun melihat batang hidungnya. Entah Ramadhan tahun berapa, terakhir pertemuan kami di rumah salah seorang kawan. Aku tidak benar-benar mengingatnya. Lagi pula pertemuan itu biasa saja. Hanya menampakkan muka, saling menyapa, bertukar cerita ala kadarnya, lalu makan bersama puluhan teman lain yang kemudian ramai mencipta suasana. Selepas itu, aku pulang.

Kalau boleh jujur, aku menangkap sesuatu yang berbeda di matanya. Satu pesan yang sulit terbaca. Mungkinkah dia pikir perpisahan kami selama ini mendidikku menjadi cenayang? Yang cukup bisa mengerti maksud bahasa isyaratnya tanpa kata? Oh, terima kasih. Lebih baik aku menahan dan membiarkan diri tak paham dengan sorot mata penuh makna itu.

Dan sekarang? Dia pulang. Menerbitkan harapan akan sebuah pertemuan. “Apakah aku sangat ingin bertemu? Lalu mau apa?” Pertanyaan itu kembali membayang. Aku tak bisa menjawab sepenuh keyakinan.

Siang masih terik saat aku sampai di halaman rumah. Beruntung, ada pohon manga besar yang rindang, tumbuh di halaman. Aku tidak membawa motor langsung masuk ke tempat parkir biasa, melainkan memarkirnya di bawah pohon mangga dan duduk di bangku panjang yang tersedia. Semilir angina bertiup menenangkan.


“Sudah, biarkan dia bahagia dengan pilihannya.” Ujar hatiku yang lain memberi peringatan.

4 comments:

Agil Uin said...

Kadang melepaskan bisa jadi obat terbaik untuk kegundahan diri kita. Orang bilang itu namanya ikhlas ☺

Rene Usshy said...

Cenayang itu apa?

Sakif said...

ikhlas, seperti surat Al Ikhlas yang tidak menyebut kata ikhlas ya kak? hehe

Sakif said...

cenayang itu dirimu. Hehehe...
ngga ding, cenayang itu peramal, bisa melihat isi hati atau masa depan tanpa penjelasan

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©