Thursday, 11 January 2018

Sakit Itu Nikmat

| |


“Hei, udah waktunya istirahat.”

“Iya, sebentar lagi. Nanggung.”

“Waktunya makan. Jangan telat…”

“Iya…” Lalu berangkat beberapa jam kemudian.


Begitulah. Seringkali, awalnya kita suka menunda, menyepelekan hal-hal penting untuk hal lain yang kita anggap lebih penting.

Beberapa hari kemudian, “Kamu kenapa? Kok pucat sih?”

“Pusing, ngga enak badan.”
“Istirahat, gih. Makan, minum jangan telat.”
“Iya, bentar lagi”

Lalu pingsan.

Satu jam kemudian, kondisinya sudah stabil. Jarum infus menancap di lengan kirinya.
Manusia-manusia keras kepala semacam itulah yang di satu sisi, sangat produktif. Tapi di sisi lain, adalah para calon pasien dengan tingkat kebandelan tertinggi.

Cerita di atas terinspirasi dari beberapa orang yang sudah mengalami kejadian serupa. Aktifitas yang padat membuat kita sering lupa makan, mengukur asupan gizi, juga mencukupkan waktu itirahat. Adakalanya kita berpikir “perjuangan membutuhkan pengorbanan” berupa perasaan harus menahan diri dari rasa lapar, haus, dan keinginan tubuh untuk menikmati peraduan layaknya pengangguran.

Di saat seperti itulah seringkali kita lupa, bahwa tubuh memiliki haknya untuk melakukan regenerasi sel secara sempurna, melaksanakan system metabolism tubuh dengan baik, juga melakukan penyembuhan-penyembuhan alami terhadap kerusakan-kerusakan yang timbul di berbagai organ tubuh.

Kita memperlakukan tubuh layaknya mesin yang bisa ditekan tombol ON dan OFF kapanpun kita mau, meminum obat untuk meredakan rasa sakit atau sekedar menunda rasa sakit itu agar bisa menyelesaikan amanah. Sampai akhirnya, kita dipaksa untuk merasakan sakit dan benar-benar harus istirahat total.

 Nah, saat sakit itulah, sesungguhnya itu adalah nikmat. Sakit membuat kita bisa benar-benar istirahat, merasakan enaknya sehat. Saat itulah kita bisa berkontemplasi, merenungi nasib diri dan evaluasi atas apa yang sudah terjadi. Apakah kita sudah memberikan hak tubuh dengan baik dan benar?

Sakit itu nikmat. Karenanya dosa-dosa terangkat. Betapa beruntung menjadi hamba yang ta’at, bahkan sakitnya meringankan beban siksa di akhirat. Betapa indah mengikuti sunnah, merasakan sakit berarti menjadi jalan menuju taubat.


3 comments:

De Falahudin (CaritaKita) said...

Hmm...pengalaman ya? "Makanya jangan telat makan".......

Nana umza said...

Dan aku nggak mau sakit.
Karena sakit itu mahal dan nggak nikmat

Wiwid Nurwidayati said...

Nggak mau sakit. Meskipun penggugur dosa. Kerjaan rumah numpuk

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©