Thursday, 17 May 2018

Diary Ramadhan #1 Tarawih dan Tadarrus di Masjid Ar Rohman

| |



Alhamdulillah, alhamdulillah ‘alaa kulli haal. Akhirnya, tahun ini bisa ikut tarawih pertama di masjid dekat rumah. Tahun lalu, tarawih pertama masih di tanah kelahiran, berjuang dengan Tesis dan ujian. Tahun sebelumnya lagi, sudah di jogja atau di rumah ya? Lupa. Tahun sebelumnya lagi, di rumah karena masih ngajar di SDIT. Tapi lupa, sepertinya tahun-tahun itu aku sering tidak mendapat tarawih pertama. Biasa, jadwal tamu bulanan wanita. #Ops

Senang sekali rasanya, kemarin malam bisa kembali menyaksikan barisan makmum yang penuh mulai dari shaf laki-laki sampai shaf wanita, hampir sampai ke teras. Kalau beberapa tahun lalu, pernah sampai ke teras pas awal Ramadhan seperti ini. Tapi beberapa tahun belakangan, dibangun mushalla di gang sebelah, jadi sebagian jamaah yang dekat dengan mushalla memilih tempat tarawih yang lebih dekat. Tak masalah, yang penting semua mushalla dan masjid makmur, jangan sampai ada yang nganggur.

Tiga tahun (atau mungkin lebih) yang lalu, di masjid Ar Rohman biasa melaksanakan tarawih dua rakaat lima kali ditambah witir satu rakaat. Saya tidak paham apa yang menjadi alasan ta’mir pertama kali memutuskan melaksanakan tarawih dengan pola ini. Saya, hanya taqlid dan percaya begitu saja karena para ulama dan pemuka agama yang lain tidak satupun menegur atau menyalahkan, jadi dalam hati Cuma berpikir, “Mungkin ada hadits yang begitu.” Akhirnya, ikut saja. Tapi malam ini, takmir memutuskan untuk mengubah pola witir yang biasanya satu rakaat menjadi tiga rakaat. Jadi empat kali salam per dua rakaat, kemudian jeda kultum, dan dilanjutkan witir sebanyak tiga rakaat. Sepaham saya, pola tarawih dan witir inilah yang paling masyhur riwayatnya.

Nah, setelah selesai witir, biasanya para remaja putri tadaruus bersama di masjid. Membaca ayat-ayat suci dengan dikeraskan, bukan untuk mengganggu tetangga. Karena hampir semua masjid dan mushalla sekitar sini melakukan tradisi serupa. Untuk menyemarakkan bulan Al Qur’an yang mulia, sekaligus melatih keberanian para remaja ini untuk memegang mikrofon, menyuarakan ayat suci, mengantar mereka yang ingin istirahat denga kalamNya. Indah, bukan? Kegiatan seperti ini biasa dilaksanakan mulai selesai tarawih sampai sekitar jam 21.00 untuk putri, dan sampai jam 22.00 untuk remaja putra. Setelah itu, masyarakat bisa istirahat dengan tenang sampai waktunya dibangunkan untuk sahur, sekitar 1  jam sebelum imsak.

Begitu juga malam ini. Kalau dulu kami tadarrusan bersama teman-teman remaja putri yang sebaya, kali ini jauh berbeda. Tak banyak lagi remaja putri yang tinggal untuk tadarrus. Hanya ada yu Kartineng (jamaah setia masjid Ar Rohman yang “istimewa”), Hinda yang baru lulus MI dan kini jadi santri di pondok putri Gontor, adiknya Malva, Hasna dan adiknya Salwa, adik  sepupu kecil (sebenarnya Bahasa jawanya “mindoan”, setingkat dibawah sepupu tapi entah Bahasa Indonesianya apa) Qonita, Khanza, Risma, dan Farizah yang baru bisa ikut memperhatikan karena belum bisa membaca, usianya belum lima tahun. Hehe.

Meski sepi, tadarrus tetap dilaksanakan seperti biasa, semoga besok pesertanya lebih banyak ya. Biar semakin ramai, semakin seru. Namun, disisi lain tadarrus malam ini membuatku menyadari sesuatu: kualitas bacaan Qur’an. Aku tak ingin menyalahkan siapapun atas beberapa kekurangan yang menurut pemahamanku cukup fatal dari beberapa bacaan mereka. Memang tidak semua remaja kecil itu salah bacaannya. Ada dari mereka yang bacaannya sudah baik, Qonita misalnya. Bacaan dengung dan panjang pendeknya sudah lebih tertib dibanding teman seusianya. Tapi dari yang lain, ada hal-hal yang perlu menjadi koreksi:

1.             Makhorijul huruf, terutama dalam melafalkan kalimat “ALLAH”, mereka masih cenderung melafalkan kalimat “AWWOH”, sekilas terdengar mirip memang. Namun jika dibiarkan, maknanya tentu jauh berbeda, bukan? Ini  perlu diperbaiki bersama. Bukan hanya tugas para guru di sekolah atau TPQ, tapi juga orang tua di rumah, ya? Untuk huruf lain, perlu terus dilatih agar benar sesuai tempat keluar hurufnya.

2.             Konsistensi tajwid. Aku tahu, mungkin mereka sudah menerima pelajaran tajwid. Sedikit atau banyak, pasti sudah pernah dipelajari di sekolah atau TPQ. Tapi sayang, mereka masih terkesan buru-buru, ingin cepat menyelesaikan bacaan sehingga hak-hak huruf yang mereka baca tidak semuanya ditunaikan dengan baik. Mulai dari bacaan panjang (Mad), terutama pada bacaan mad jaiz munfashil dan mad wajib muttashil, tidak semua dibaca dengan benar sepanjang 5-6 harokat. Kebanyakan hanya dibaca dua harokat, sama  seperti mad thobi’i. ini kalau dibiarkan, selamanya jadi kebiasaan.

3.             Kemudian konsistensi pada bacaan dengung (idghom), sebagian kalimat dibaca dengan benar, namun banyak sekali  yang “kelepasan”, memanjangkan dengung atau lupa tidak ditahan sehingga terbaca idzhar (jelas).

4.             Pemenggalan kalimat. Bila di tengah bacaan tidak kuat nafas, maka biasanya berhenti dan mengulang beberapa kalimat sebelumnya, kan? Nah, meskipun jika tidak kuat nafas membolehkan berhenti dimana saja, sebenarnya kita tidak bisa berhenti sembarangan. Ketika berhenti itu, kita tetap harus memperhatikan hukum tajwid. Begitu pula ketika mengulang, harus diambil penggalan kalimat yang tepat. Untuk bab ini, adik-adik yang manis itu belum bisa, masih asal berhenti dan asal mengulang. Belajar lagi ya, dek? Yuk, belajar bareng.

Untuk para orang tua, ah ingin sekali menyapa satu persatu, kemudian meyakinkan mereka bahwa Pendidikan anak bukan semata tanggung jawab sekolah dan TPQ. Tapi tanggung jawab terbesar kualitas Pendidikan mereka, ada di tangan kedua orang tua. Maka, jika di rumah belum bisa memberikan Pendidikan terbaik untuk anak-anak, ilmu menjadi orang tua belum cukup untuk mendidik anak-anak zaman now yang semakin besar tantangannya dibanding zaman orang tua dahulu, maka selalu berhati-hatilah memilih Pendidikan untuk anak. Pertama, pilihkan guru yang baik, yang bisa tegas mengarahkan anak untuk tetap melakukan hal yang benar. Jangan pilih guru yang hanya bisa membenarkan tingkah laku dan pilihan anak. Karena ketika anak melakukan kesalahan tetap dibenarkan, hal ini akan berakibat fatal untuk masa depannya. Hal membaca Al Qur’an hanya salah satunya. Pelajaran lain yang diterma anak, juga berlaku demikian.

Kedua, pilihkan lingkungan yang baik untuk anak. Sungguh, anak adalah peniru ulung. Lingkungan adalah guru praktis bagi mereka. Apapun yang lingkungan ajarkan, itu pula yang akan membentuk pribadinya. Jika lingkungan yang tersedia tak sebaik harapan kita, maka jadikan anak sebagai role model yang bisa ditiru kebaikannya oleh lingkungan sekitar.

Ketiga, tugas orang tua adalah terus memperbaiki diri sendiri. jangan pernah menyerah dengan mengatakan: “Halah, biarlah  kami (para orang tua) begini adanya. Yang penting anak-anak lebih baik dari kami.” Huft, bagaimana bisa berharap mereka lebih baik kalau suri tauladan di rumah tidak mengajarkan kebaikan secara terus menerus? Ayolah, selagi ada kesempatan, mari terus belajar dan memperbaiki diri. Apalagi Ramadhan begini.

“Loh, ini kan belum jam 9? Kok sudah bisa posting tulisan?”

Hehe, malam ini setelah tarawih kedua di masjid, aku langsung pulang. Tidak ikut tadarusan bersam aummi dan yang lain. Alasannya? Kebelet pipis. Hiks, padahal ada toilet juga di masjid. Tapi ngga enak, malu. Jadi selesai witir, pulang deh. Tadarusan di rumah, selesaikan target dan kemudian posting tulisan. Ngga balik lagi ke masjid, besok aja insya Allah tadarus di masjid lagi.


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©