Alhamdulillah, alhamdulillah ‘alaa kulli
haal. Akhirnya, tahun ini bisa ikut tarawih pertama di masjid dekat rumah.
Tahun lalu, tarawih pertama masih di tanah kelahiran, berjuang dengan Tesis dan
ujian. Tahun sebelumnya lagi, sudah di jogja atau di rumah ya? Lupa. Tahun
sebelumnya lagi, di rumah karena masih ngajar di SDIT. Tapi lupa, sepertinya
tahun-tahun itu aku sering tidak mendapat tarawih pertama. Biasa, jadwal tamu
bulanan wanita. #Ops
Senang sekali
rasanya, kemarin malam bisa kembali menyaksikan barisan makmum yang penuh mulai
dari shaf laki-laki sampai shaf wanita, hampir sampai ke teras. Kalau beberapa
tahun lalu, pernah sampai ke teras pas awal Ramadhan seperti ini. Tapi beberapa
tahun belakangan, dibangun mushalla di gang sebelah, jadi sebagian jamaah yang
dekat dengan mushalla memilih tempat tarawih yang lebih dekat. Tak masalah,
yang penting semua mushalla dan masjid makmur, jangan sampai ada yang nganggur.
Tiga tahun
(atau mungkin lebih) yang lalu, di masjid Ar Rohman biasa melaksanakan tarawih
dua rakaat lima kali ditambah witir satu rakaat. Saya tidak paham apa yang
menjadi alasan ta’mir pertama kali memutuskan melaksanakan tarawih dengan pola
ini. Saya, hanya taqlid dan percaya begitu saja karena para ulama dan pemuka
agama yang lain tidak satupun menegur atau menyalahkan, jadi dalam hati Cuma
berpikir, “Mungkin ada hadits yang begitu.” Akhirnya, ikut saja. Tapi malam
ini, takmir memutuskan untuk mengubah pola witir yang biasanya satu rakaat
menjadi tiga rakaat. Jadi empat kali salam per dua rakaat, kemudian jeda
kultum, dan dilanjutkan witir sebanyak tiga rakaat. Sepaham saya, pola tarawih
dan witir inilah yang paling masyhur riwayatnya.
Nah, setelah
selesai witir, biasanya para remaja putri tadaruus bersama di masjid. Membaca
ayat-ayat suci dengan dikeraskan, bukan untuk mengganggu tetangga. Karena
hampir semua masjid dan mushalla sekitar sini melakukan tradisi serupa. Untuk
menyemarakkan bulan Al Qur’an yang mulia, sekaligus melatih keberanian para
remaja ini untuk memegang mikrofon, menyuarakan ayat suci, mengantar mereka
yang ingin istirahat denga kalamNya. Indah, bukan? Kegiatan seperti ini biasa
dilaksanakan mulai selesai tarawih sampai sekitar jam 21.00 untuk putri, dan
sampai jam 22.00 untuk remaja putra. Setelah itu, masyarakat bisa istirahat
dengan tenang sampai waktunya dibangunkan untuk sahur, sekitar 1 jam sebelum imsak.
Begitu juga
malam ini. Kalau dulu kami tadarrusan bersama teman-teman remaja putri yang
sebaya, kali ini jauh berbeda. Tak banyak lagi remaja putri yang tinggal untuk
tadarrus. Hanya ada yu Kartineng (jamaah setia masjid Ar Rohman yang
“istimewa”), Hinda yang baru lulus MI dan kini jadi santri di pondok putri
Gontor, adiknya Malva, Hasna dan adiknya Salwa, adik sepupu kecil (sebenarnya Bahasa jawanya
“mindoan”, setingkat dibawah sepupu tapi entah Bahasa Indonesianya apa) Qonita,
Khanza, Risma, dan Farizah yang baru bisa ikut memperhatikan karena belum bisa
membaca, usianya belum lima tahun. Hehe.
Meski sepi,
tadarrus tetap dilaksanakan seperti biasa, semoga besok pesertanya lebih banyak
ya. Biar semakin ramai, semakin seru. Namun, disisi lain tadarrus malam ini
membuatku menyadari sesuatu: kualitas bacaan Qur’an. Aku tak ingin menyalahkan
siapapun atas beberapa kekurangan yang menurut pemahamanku cukup fatal dari
beberapa bacaan mereka. Memang tidak semua remaja kecil itu salah bacaannya. Ada
dari mereka yang bacaannya sudah baik, Qonita misalnya. Bacaan dengung dan
panjang pendeknya sudah lebih tertib dibanding teman seusianya. Tapi dari yang
lain, ada hal-hal yang perlu menjadi koreksi:
1.
Makhorijul huruf, terutama dalam melafalkan
kalimat “ALLAH”, mereka masih cenderung melafalkan kalimat “AWWOH”, sekilas
terdengar mirip memang. Namun jika dibiarkan, maknanya tentu jauh berbeda,
bukan? Ini perlu diperbaiki bersama.
Bukan hanya tugas para guru di sekolah atau TPQ, tapi juga orang tua di rumah,
ya? Untuk huruf lain, perlu terus dilatih agar benar sesuai tempat keluar
hurufnya.
2.
Konsistensi tajwid. Aku tahu, mungkin mereka
sudah menerima pelajaran tajwid. Sedikit atau banyak, pasti sudah pernah
dipelajari di sekolah atau TPQ. Tapi sayang, mereka masih terkesan buru-buru, ingin
cepat menyelesaikan bacaan sehingga hak-hak huruf yang mereka baca tidak
semuanya ditunaikan dengan baik. Mulai dari bacaan panjang (Mad), terutama pada
bacaan mad jaiz munfashil dan mad wajib muttashil, tidak semua dibaca dengan
benar sepanjang 5-6 harokat. Kebanyakan hanya dibaca dua harokat, sama seperti mad thobi’i. ini kalau dibiarkan,
selamanya jadi kebiasaan.
3.
Kemudian konsistensi pada bacaan dengung
(idghom), sebagian kalimat dibaca dengan benar, namun banyak sekali yang “kelepasan”, memanjangkan dengung atau
lupa tidak ditahan sehingga terbaca idzhar (jelas).
4.
Pemenggalan kalimat. Bila di tengah bacaan tidak
kuat nafas, maka biasanya berhenti dan mengulang beberapa kalimat sebelumnya,
kan? Nah, meskipun jika tidak kuat nafas membolehkan berhenti dimana saja,
sebenarnya kita tidak bisa berhenti sembarangan. Ketika berhenti itu, kita
tetap harus memperhatikan hukum tajwid. Begitu pula ketika mengulang, harus
diambil penggalan kalimat yang tepat. Untuk bab ini, adik-adik yang manis itu
belum bisa, masih asal berhenti dan asal mengulang. Belajar lagi ya, dek? Yuk,
belajar bareng.
Untuk para orang tua, ah ingin sekali menyapa satu persatu, kemudian
meyakinkan mereka bahwa Pendidikan anak bukan semata tanggung jawab sekolah dan
TPQ. Tapi tanggung jawab terbesar kualitas Pendidikan mereka, ada di tangan
kedua orang tua. Maka, jika di rumah belum bisa memberikan Pendidikan terbaik
untuk anak-anak, ilmu menjadi orang tua belum cukup untuk mendidik anak-anak zaman
now yang semakin besar tantangannya dibanding zaman orang tua dahulu, maka
selalu berhati-hatilah memilih Pendidikan untuk anak. Pertama, pilihkan guru
yang baik, yang bisa tegas mengarahkan anak untuk tetap melakukan hal yang
benar. Jangan pilih guru yang hanya bisa membenarkan tingkah laku dan pilihan
anak. Karena ketika anak melakukan kesalahan tetap dibenarkan, hal ini akan
berakibat fatal untuk masa depannya. Hal membaca Al Qur’an hanya salah satunya.
Pelajaran lain yang diterma anak, juga berlaku demikian.
Kedua, pilihkan lingkungan yang baik untuk anak. Sungguh, anak adalah
peniru ulung. Lingkungan adalah guru praktis bagi mereka. Apapun yang lingkungan
ajarkan, itu pula yang akan membentuk pribadinya. Jika lingkungan yang tersedia
tak sebaik harapan kita, maka jadikan anak sebagai role model yang bisa ditiru kebaikannya oleh lingkungan sekitar.
Ketiga, tugas orang tua adalah terus memperbaiki diri sendiri. jangan
pernah menyerah dengan mengatakan: “Halah, biarlah kami (para orang tua) begini adanya. Yang penting
anak-anak lebih baik dari kami.” Huft, bagaimana bisa berharap mereka lebih
baik kalau suri tauladan di rumah tidak mengajarkan kebaikan secara terus
menerus? Ayolah, selagi ada kesempatan, mari terus belajar dan memperbaiki
diri. Apalagi Ramadhan begini.
“Loh, ini kan belum jam 9? Kok sudah bisa posting tulisan?”
Hehe, malam ini setelah tarawih kedua di masjid, aku langsung pulang. Tidak
ikut tadarusan bersam aummi dan yang lain. Alasannya? Kebelet pipis. Hiks,
padahal ada toilet juga di masjid. Tapi ngga enak, malu. Jadi selesai witir,
pulang deh. Tadarusan di rumah, selesaikan target dan kemudian posting tulisan.
Ngga balik lagi ke masjid, besok aja insya Allah tadarus di masjid lagi.
0 comments:
Post a Comment