Sunday, 28 October 2018

Gubernur dan Pasukan Orange DKI

| |




“Lihat, ini jalan atau tempat sampah?! Habislah Anis kalau begini. Dulu zaman Pak Ahok belum pergi, ngga pernah tuh sekotor ini. Beneran, habislah Anis!” Mobil grab yang kami tumpangi baru saja meninggalkan jalanan depan stasiun Jakarta Kota. Pak sopir membuka percakapan, mungkin tanpa sadar memprovokasi penumpangnya dengan menunjukkan kinerja nyata gubernur yang sedang memimpin sekarang. Mungkin sedang bernostalgia dengan pemimpin berikutnya. Entahlah. Yang pasti, kalimat pembuka itu berhasil menunjukkan afiliasi politiknya.


“Dulu selalu bersih ya pak?” Tanya teman saya memancing pembicaraan lebih jauh.

“Oh, iya. Jangan tanya, dulu semua tertib, rapi, ngga ada sampah berserakan begini. Masa jalanan udah persis tempat sampah begini.” Bapak sopir grab tumpangan kami terus ngedumel sendiri. Kami hanya mendengarkan, sementara saya mendengarkan sambil asik mengambil foto. Iya, foto jalanan yang penuh sampah plastik seperti bekas bungkus makanan yang berserakan. Seperti sebuah arena setelah selesai acara besar. Sampai disini, saya tak punya alasan untuk berspekulasi tentang sumber sampah-sampah tersebut.

“Pak, katanya Glodok sampai mangga dua atau mangga besar, sebentar lagi ditutup ya jalannya?” Tanyaku berusaha mengalihkan pembahasan.

“Ah, engga. Apaan? ini kan jalan utama. Apa jadinya kalau ditutup, bisa macet banget Jakarta pusat neng. Kata siapa emangnya?”

“Itu tadi petugas Trans, eh city tour History of Djakarta.” Bus yang kumaksud adalah bus wisata gratis yang disediakan oleh pemprov DKI dan PT. Transportasi Jakarta. Siang hingga sore itu kami baru menikmati salah satunya: History of Djakarta. Kami naik dari halte Monas 2, turun di Istiqlal, kemudian transit menuju kota tua. Nah, pulang dari kota tua inilah kami naik grab-car. Selengkapnya tentang bus gratis ada disini.

“Ah, enggak mungkin. Itu petugasnya aja cari alasan kali, pengen istirahat. Mentang-mentang gratis, udah jam segini ngga mau narik. Kerjaan mereka aja itu mah.” Si Bapak yang kental logat betawinya seolah mencibir kinerja para petugas itu.

“Katanya sih mau ada acara apa gitu, pak. Di sekitar mangga besar sore ini, jalan ditutup. Makanya tadi bis terakhir, kami ngga kebagian tempat duduk. Akhirnya naik grab deh. Kan ngga boleh berdiri kalau bis city tour begitu.” Kataku berusaha woles menjelaskan sesuai apa yang disampaikan oleh petugas.

“Ah ngga mungkin teh, jalanan utama begini mana mungkin di tutup. Ada-ada aja tuh. Bilang aja males kerja.” Si Bapak kekeuh. Saya cuma nyengir. Dalam hati lebih percaya apa kata petugas, sih.



Belum ada dua menit kami menutup mulut, lampu belakang mobil-mobil di depan kami mulai menyala merah. Mereka tampak padat, pertanda jalanan di depan sudah terhambat. Di depan kami beberapa petugas dari kepolisian membantu mengatur jalannya lalu lintas. Jalur umum sudah padat merayap, sementara pak sopir kami yang terlanjur mengambil lajur paling kanan, bisa dengan leluasa memasuki jalur busway.

Dalam kondisi normal, petugas tidak akan mengizinkan jalur busway di”perkosa” (istilah ini pertama kali saya baca dari tulisan yang menyebutkan sumbernya ditulis oleh Pak Dahlan Iskan) kendaraan umum. Tapi macet seringkali menjadikan petugas bertindak lebih permisif.

Setelah berhasil melalui titik macet, jalur yang kami lalui memang tidak lagi padat oleh kendaraan. Namun kecepatan tetap harus berjalan lambat. Jalan mangga besar adalah jalan dua arah yang masing-masing arahnya dipisahkan oleh sungai. Di sebelah kiri mobil kami ada iring-iringan massa yang berjalan kaki, diantara mereka ada kelompok-kelompok kecil yang memanggul kursi warna merah dan kuning emas, diatasnya berhias bunga-bunga dan patung berwarna emas, di depan patung itu ada dupa yang menyala. Kursi-kursi itu diarak sebagai suatu benda sakral oleh empat sampai enam orang. Ada kursi yang besar, ada pula yang kecil. Kaos belakang mereka bertuliskan semacam nama komunitas-komunitas entah apa dalam Bahasa Tiongkok.

Di seberang sungai, sebelah kanan kami, yang berarti arus sebaliknya dari yang kami lalui, iring-iringan massa dengan acara yang sama tampak lebih padat. Seragam mereka warna-warni, kebanyakan warna merah dan kuning. Ada yang hitam, tapi sedikit. Kami sempat menebak-nebak acara apa ini. Tidak mungkin peringatan Hari Santri Nasional, hari itu masih sehari sebelum peringatan HSN.

Oke, acara apapun itu, pertama otak saya bekerja sendiri mengambil kesimpulan dari mana sumber sampah di jalanan sebelumnya berasal. Kedua, ucapan petugas Trans tentang penutupan jalan dan acara itu, benar. Ketiga, Si Bapak sopir sudah diam dan tidak berkomentar lagi soal macetnya jalanan dan iringan acara yang menjadi penyebabnya.

Soal kebersihan jalanan tadi, rasanya kok tendensius sekali menyalahkan dan menilai buruknya kinerja gubernur “hanya” karena satu ruas jalan yang tampak kotor sore itu. Saya memang belum tinggal di Jakarta saat gubernur sebelumnya memimpin. Saya juga tidak tahu apakah kawasan Mangga Besar itu kotor setiap hari atau hanya ketika ada acara serupa?

Tapi beberapa bulan terakhir saya tinggal di ibukota negeri ini, rutinitas menuntut saya berangkat sangat pagi dan pulang saat siang atau sore menjelang. Setiap setelah shubuh saya berangkat, sekitar jam 5 pagi sudah ada pasukan orange yang menyapu jalan raya dekat tempat saya tinggal, Kawasan Jakarta Timur. Siang sedikit, semakin banyak pasukan orange yang bertebaran di jalan, mengumpulkan dan memungut sampah, menjalankan mobil-mobil besar atau motor gerobak -yang juga berwarna orange- untuk emngumpulkan, bahkan ada mobil khusus yang bertugas mengolah sampah menjadi pupuk di titik-titik tertentu.

Siang yang terik saat saya pulang, masih banyak pasukan orange bertebaran di jalan, membersihkan jalan dari sampah, seolah memang sampah-sampah itu sangat enggan enyah dari jalanan. Baik sampah daun dari pohon-pohon di tepi jalan, atau sampah bekas bungkus makanan yang dibuang sembarangan. Sampai menjelang sore, seringkali saya pulang sekitar waktu ashar, mereka masih saja tampak di tepi-tepi jalan, bukan diam, tapi membawa sapu lidi dan kantong hitam besar sebagai tempat mengumpulkan sampah. Entah sampai jam berapa mereka terus bertugas begitu.

Dari banyak daerah yang sudah saya jelajahi di ibukota ini, baik itu daerah padat penduduk, daerah macet, sampai jalan protokol, lebih banyak jalanan yang tampak bersih dan tertata dibanding dengan jalanan yang kotor seperti di Mangga Besar itu. Beberapa ruas memang masih perbaikan, seperti sepanjang jalan fatmawati, yang atasnya sedang menyelesaikan beberapa stasiun LRT/MRT, dibawah sedang memperbaiki saluran air dan pedestrian.

Sekarang jika ada sampah bertebaran, pantaskah  serta- merta menyalahkan kinerja gubernur? Sementara menjaga kebersihan adalah tugas setiap penduduk, untuk minimal biasa membuang sampah ke tempatnya. Tugas pasukan orange untuk menjaga kebersihan fasilitas publik, tugas dinas kebersihan untuk menjaga kinerja pegawainya, tugas Gubernur? Memberi intruksi dan mengawasi kinerja dinas kebersihan, bukan?

Rangkaian mandatorial yang panjang ini harusnya dipahami setiap orang, agar tidak mudah menyalahkan dan biasa berpikir objektif. Afiliasi politik boleh saja ditunjukkan secara umum dan bebas. Namun tanpa filter yang baik dan benar akan terkesan “asal bunyi” dan tidak cerdas sama sekali.


1 comments:

Wakhid Syamsudin said...

Tulisan panjang, tapi enak kok dibaca. Kebersihan memang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Soal salah-menyalahkan dan afiliasi politik memang selalu berhubungan.

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©