“Lihat, ini jalan atau tempat sampah?! Habislah Anis kalau begini. Dulu zaman Pak Ahok belum pergi, ngga pernah tuh sekotor ini. Beneran, habislah Anis!” Mobil grab yang kami tumpangi baru saja meninggalkan jalanan depan stasiun Jakarta Kota. Pak sopir membuka percakapan, mungkin tanpa sadar memprovokasi penumpangnya dengan menunjukkan kinerja nyata gubernur yang sedang memimpin sekarang. Mungkin sedang bernostalgia dengan pemimpin berikutnya. Entahlah. Yang pasti, kalimat pembuka itu berhasil menunjukkan afiliasi politiknya.
“Dulu selalu
bersih ya pak?” Tanya teman saya memancing pembicaraan lebih jauh.
“Oh, iya. Jangan
tanya, dulu semua tertib, rapi, ngga ada sampah berserakan begini. Masa jalanan
udah persis tempat sampah begini.” Bapak sopir grab tumpangan kami terus ngedumel
sendiri. Kami hanya mendengarkan, sementara saya mendengarkan sambil asik
mengambil foto. Iya, foto jalanan yang penuh sampah plastik seperti bekas
bungkus makanan yang berserakan. Seperti sebuah arena setelah selesai acara
besar. Sampai disini, saya tak punya alasan untuk berspekulasi tentang sumber
sampah-sampah tersebut.
“Pak, katanya
Glodok sampai mangga dua atau mangga besar, sebentar lagi ditutup ya jalannya?”
Tanyaku berusaha mengalihkan pembahasan.
“Ah, engga.
Apaan? ini kan jalan utama. Apa jadinya kalau ditutup, bisa macet banget
Jakarta pusat neng. Kata siapa emangnya?”
“Itu tadi
petugas Trans, eh city tour History of Djakarta.” Bus yang kumaksud adalah bus wisata
gratis yang disediakan oleh pemprov DKI dan PT. Transportasi Jakarta. Siang
hingga sore itu kami baru menikmati salah satunya: History of Djakarta. Kami naik
dari halte Monas 2, turun di Istiqlal, kemudian transit menuju kota tua. Nah,
pulang dari kota tua inilah kami naik grab-car. Selengkapnya tentang bus gratis
ada disini.
“Ah, enggak
mungkin. Itu petugasnya aja cari alasan kali, pengen istirahat. Mentang-mentang
gratis, udah jam segini ngga mau narik. Kerjaan mereka aja itu mah.” Si Bapak
yang kental logat betawinya seolah mencibir kinerja para petugas itu.
“Katanya sih mau
ada acara apa gitu, pak. Di sekitar mangga besar sore ini, jalan ditutup. Makanya
tadi bis terakhir, kami ngga kebagian tempat duduk. Akhirnya naik grab deh. Kan
ngga boleh berdiri kalau bis city tour begitu.” Kataku berusaha woles
menjelaskan sesuai apa yang disampaikan oleh petugas.
“Ah ngga mungkin
teh, jalanan utama begini mana mungkin di tutup. Ada-ada aja tuh. Bilang aja
males kerja.” Si Bapak kekeuh. Saya cuma nyengir. Dalam hati lebih
percaya apa kata petugas, sih.
Belum ada dua
menit kami menutup mulut, lampu belakang mobil-mobil di depan kami mulai menyala
merah. Mereka tampak padat, pertanda jalanan di depan sudah terhambat. Di depan
kami beberapa petugas dari kepolisian membantu mengatur jalannya lalu lintas. Jalur
umum sudah padat merayap, sementara pak sopir kami yang terlanjur mengambil
lajur paling kanan, bisa dengan leluasa memasuki jalur busway.
Dalam kondisi
normal, petugas tidak akan mengizinkan jalur busway di”perkosa” (istilah ini
pertama kali saya baca dari tulisan yang menyebutkan sumbernya ditulis oleh Pak
Dahlan Iskan) kendaraan umum. Tapi macet seringkali menjadikan petugas
bertindak lebih permisif.
Setelah berhasil
melalui titik macet, jalur yang kami lalui memang tidak lagi padat oleh
kendaraan. Namun kecepatan tetap harus berjalan lambat. Jalan mangga besar
adalah jalan dua arah yang masing-masing arahnya dipisahkan oleh sungai. Di sebelah
kiri mobil kami ada iring-iringan massa yang berjalan kaki, diantara mereka ada
kelompok-kelompok kecil yang memanggul kursi warna merah dan kuning emas,
diatasnya berhias bunga-bunga dan patung berwarna emas, di depan patung itu ada
dupa yang menyala. Kursi-kursi itu diarak sebagai suatu benda sakral oleh empat
sampai enam orang. Ada kursi yang besar, ada pula yang kecil. Kaos belakang
mereka bertuliskan semacam nama komunitas-komunitas entah apa dalam Bahasa Tiongkok.
Di seberang sungai,
sebelah kanan kami, yang berarti arus sebaliknya dari yang kami lalui,
iring-iringan massa dengan acara yang sama tampak lebih padat. Seragam mereka
warna-warni, kebanyakan warna merah dan kuning. Ada yang hitam, tapi sedikit. Kami
sempat menebak-nebak acara apa ini. Tidak mungkin peringatan Hari Santri
Nasional, hari itu masih sehari sebelum peringatan HSN.
Oke, acara
apapun itu, pertama otak saya bekerja sendiri mengambil kesimpulan dari mana
sumber sampah di jalanan sebelumnya berasal. Kedua, ucapan petugas Trans
tentang penutupan jalan dan acara itu, benar. Ketiga, Si Bapak sopir sudah diam
dan tidak berkomentar lagi soal macetnya jalanan dan iringan acara yang menjadi
penyebabnya.
Soal kebersihan
jalanan tadi, rasanya kok tendensius sekali menyalahkan dan menilai buruknya
kinerja gubernur “hanya” karena satu ruas jalan yang tampak kotor sore itu. Saya
memang belum tinggal di Jakarta saat gubernur sebelumnya memimpin. Saya juga
tidak tahu apakah kawasan Mangga Besar itu kotor setiap hari atau hanya ketika ada
acara serupa?
Tapi beberapa
bulan terakhir saya tinggal di ibukota negeri ini, rutinitas menuntut saya berangkat
sangat pagi dan pulang saat siang atau sore menjelang. Setiap setelah shubuh
saya berangkat, sekitar jam 5 pagi sudah ada pasukan orange yang menyapu jalan
raya dekat tempat saya tinggal, Kawasan Jakarta Timur. Siang sedikit, semakin
banyak pasukan orange yang bertebaran di jalan, mengumpulkan dan memungut
sampah, menjalankan mobil-mobil besar atau motor gerobak -yang juga berwarna
orange- untuk emngumpulkan, bahkan ada mobil khusus yang bertugas mengolah
sampah menjadi pupuk di titik-titik tertentu.
Siang yang terik
saat saya pulang, masih banyak pasukan orange bertebaran di jalan, membersihkan
jalan dari sampah, seolah memang sampah-sampah itu sangat enggan enyah dari
jalanan. Baik sampah daun dari pohon-pohon di tepi jalan, atau sampah bekas
bungkus makanan yang dibuang sembarangan. Sampai menjelang sore, seringkali
saya pulang sekitar waktu ashar, mereka masih saja tampak di tepi-tepi jalan,
bukan diam, tapi membawa sapu lidi dan kantong hitam besar sebagai tempat
mengumpulkan sampah. Entah sampai jam berapa mereka terus bertugas begitu.
Dari banyak
daerah yang sudah saya jelajahi di ibukota ini, baik itu daerah padat penduduk,
daerah macet, sampai jalan protokol, lebih banyak jalanan yang tampak bersih
dan tertata dibanding dengan jalanan yang kotor seperti di Mangga Besar itu. Beberapa
ruas memang masih perbaikan, seperti sepanjang jalan fatmawati, yang atasnya
sedang menyelesaikan beberapa stasiun LRT/MRT, dibawah sedang memperbaiki
saluran air dan pedestrian.
Sekarang jika
ada sampah bertebaran, pantaskah serta- merta
menyalahkan kinerja gubernur? Sementara menjaga kebersihan adalah tugas setiap
penduduk, untuk minimal biasa membuang sampah ke tempatnya. Tugas pasukan orange
untuk menjaga kebersihan fasilitas publik, tugas dinas kebersihan untuk menjaga
kinerja pegawainya, tugas Gubernur? Memberi intruksi dan mengawasi kinerja
dinas kebersihan, bukan?
Rangkaian mandatorial
yang panjang ini harusnya dipahami setiap orang, agar tidak mudah menyalahkan
dan biasa berpikir objektif. Afiliasi politik boleh saja ditunjukkan secara
umum dan bebas. Namun tanpa filter yang baik dan benar akan terkesan “asal
bunyi” dan tidak cerdas sama sekali.
1 comments:
Tulisan panjang, tapi enak kok dibaca. Kebersihan memang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Soal salah-menyalahkan dan afiliasi politik memang selalu berhubungan.
Post a Comment