Monday 30 March 2020

Novel Pemicu Kebangkitan Dakwah

| |


Review Sang Pangeran dan Janissary Terakhir


Perang DIponegoro dan kisah heroik pasukan Turki Utsmani

Rasanya kurang adil, memaksakan diri menulis review tanpa memiliki referensi pembanding. Namun bagaimanapun, novel pertama dari tetralogi Sang Pangeran ini memiliki daya tarik yang tidak mampu ditolak, bahkan bagi kalangan awam sejarah seperti saya.

Dulu ketika sekolah, saya paling suka membaca narasi, cerita, termasuk sejarah. Namun paling susah menghafal nama, tanggal, tempat yang biasanya muncul dalam soal ulangan. Jadilah nilai sejarah saya tak bisa tersenyum sempurna. Belajar sejarah melalui teks buku ajar memang cenderung membosankan bagi sebagian orang, termasuk saya. Apalagi sejauh ini belum banyak novel fiksi sejarah beredar di bumi literasi Indonesia. Mungkin jika genre ini berkembang sejak satu dekade yang lalu, pelajaran sejarah di sekolah tidak terlalu membosankan seperti saat itu. Karena tidak hanya berisi angka dan nama yang harus dihafal, namun ada alur yang bisa dipahami logika sehingga kita paham sebab dan akibat sebuah peristiwa.

Tentu bukan perkara yang mudah menyajikan sejarah dalam sebuah kisah. Karena saya harus meraba jalannya cerita pada puluhan halaman pertama. Alur yang disajikan maju-mundur (tetap cantik) menambah tingkat konsentrasi yang harus dicurahkan saat membaca. Namun dalam novel ini, penulis mampu meramu kisah, kasih, selisih sekaligus sejarah perang diponegoro dengan apik dan sungguh, menarik.

Rasanya ada misi khusus yang ingin disampaikan penulis kepada seluruh ummat Islam di bumi nusantara melalui novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir ini. Sebuah misi kebangkitan dakwah, hingga Islam menguasai bumi. Meskipun, baik bagi penulis, dan mungkin sebagian besar pembaca yang memahami misi ini, harus tetap bersabar. Karena pada prinsipnya seperti termaktub pada halaman 348:

Jika ingin menikmati sesuatu, bayangkanlah ketika kau tak mempunyai. Jika kau rasa tak mengapa kehilangan sesuatu (itu) barulah aman bagimu memiliki.


Begitulah kaidah cinta. Rasanya terlalu riskan mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkan ketika benar-benar menginginkan. Tapi semua akan berjalan lebih baik, ketika yang diinginkan sudah tidak terlalu menguasai hati, atau bahkan siap dilepaskan. Bagaimanapun, agama ini memiliki pemilik sekaligus penjaga.. kita hanyalah wayang yang harus patuh pada maksud penciptaan: sebagai khalifah. Tugas kita adalah mengusahakan yang terbaik sesuai dengan ajaran Allah dan RasulNya. Tidak kurang tidak lebih. Kita tidak bisa menentkan posisi perjuangan, hanya perlu terus berjuang.

Seperti pernah diungkap penulis (maafkan, saya lupa membaca di mana), bahwa perang diponegoro yang terjadi sekitar 100 tahun sebelum Indonesia merdeka merupakan pemantik sejarah kemerdekaan Indonesia. Karena perang ini telah menjadi penyebab Belanda mengalami kerugian besar, menumbuhkan ide para penerus pemerintahan di tanah jajahan untuk semakin menekan rakyat Indonesia. Bersamaan dengan itu, kesempatan demi kesempatan bagi rakyat kalangan atas untuk belajar semakin terbuka. Sehingga ketika wawasan meluas, kebangkitan nasional tak dapat dihindari. Sampai akhirnya semangat untuk merdeka memuncak dan dapat dideklarasaikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Mimpi Pangeran Diponegoro untuk menjadi Paneteg Agomo Setanah Jawi mungkin belum mencapai puncaknya. Meski pangkalnya sudah entah di mana, tak tampak oleh mata maupun logika. Masyarakat muslim masih banyak yang labil dalam menjalankan syariat, sehingga pada awal 1900an bahkan di lingkungan Kauman dan Keraton Yogyakarta sendiri yang dikuasai para ulama, kyai dan sesepuh, marak penyakit TBC di kalangan masyarakat (Takhayul, Bid’ah dan Churafat) di masyarakat yang dianggap adat istiadat.

Sehingga bukan hanya penjajah yang menjadi ancaman, tapi juga aqidah ummat yang menuntut perhatian. Tantangan dakwah memang tidak pernah benar-benar mudah. Membaca kisah perang diponegoro yang penuh liku, siasat, dan juga semangat mengingatkan saya pada lirik nasyid:

Mengharap senang dalam berjuang

Bagai merindu bulan di tengah siang

Jalannya tak seindah sentuhan mata

Pangkalnya jauh ujungnya belum tiba

Saujana-Suci Sekeping Hati

Alangkah memilukan rasanya ketika kisah perang ini mulai menguras emosi karena banyaknya tokoh utama pergerakan yang berputar haluan, atau gugur sebagai syahid. Pada halaman 369 penulis menuturkan sebagian strategi Belanda untuk menghancurkan pasukan Pangeran Diponegoro:

“Kyai Mojo sudah kita buang ke Ambon, kemudian ke Tondano. Pangeran Ngabehi dan banyak lagi pangeran serta tumenggung lain sudah tewas. Pangean Mangkubumi juga menyerah. Sentot Prawirodirjo, Ali Basah yang sangat mereka banggakan malah sudah bergabung dengan kita. Kita bahkan sudah hampir menangkap Pangeran Diponegoro di Siluk, kemudian juga di Gowong ketika dia dikepung oleh Kolone Gerak Cepat arahan Mayor A.V Michiels dan terpaksa menjatuhkan dirinya dirinya ke jurang dan terpaksa kehilangan pusaka-pusaka andalan dan terpisah dari pasukannya. Kini dia berkelana dengan prihatin di Bagelen Barat hanya ditemani kedua pengiringnya, sementara kesebelas Kolone Gerak Cepat kita terus mengejarnya…”

Tidak hanya itu, pasukan Janissary terakhir juga diadu domba oleh musuh dalam selimut yang memanfaatkan keadaan. Semua serba sulit, bagaimana membedakan musuh dengan kawan, tidak cukup dengan melihat seragam. Kedalaman dan kejernihan nurani setiap mukmin dipertaruhkan. Akankah mereka tetap kuat bertahan dalam barisan para pejuang?

Alangkah pedih rasanya menjadi Pangeran, menghadapi perang sekaligus rasa kehilangan banyak sekali. Pribadi Pangeran Diponegoro yang halus, ora tegelan, dan selalu welas asih kepada sesama menjelma menjadi ketegaran luar biasa sejak memantapkan diri sebagai Khalifatur Rasulillah. Ini belum ditambah dengan kehilangan istri, saudara, paman, sahabat seperjuangan, dan rakyat jawa yang tak sedikit jumlahnya.

Namun kearifan dan kedalaman ilmu beliau tidak memudar, kecerdasan beliau tetap cemerlang meski terus didera rasa kehilangan. Hal ini tampak dari ungkapan beliau ketika mendefinisikan kekalahan dan kemenangan:

Kekalahan itu ketika kita ditinggalkan Gusti Allah meskipun kita menang perang ataupun punya banyak kawan serta pengikut. Sebaliknya, yang disebut kemenangan adalah tetap bersama Gusti Allah meskipun kita tinggal sendirian, atau bahkan binasa dalam perjuangan.” hlm.443


Duhai, adakah Pangeran Diponegoro masa kini?

Adakah para kesatria yang pandai memasak, sekaligus memaknai makanannya seperi Kang Roto saat menjelaskan makna nasi wuduk, ayam ingkung, sambal gepleng kepada Basah Nurkandam? Sebagaimana memahami nasi yang menjadi perlambang wudhu, ayam sebagai perlambang shalat, sambal yang menjadi perlambang berdzikir?

Rindu. Rindu semakin tak terperi pada kehidupan di mana islam dijunjung tinggi, ajaran dan syariat terpatri pada setiap hati. Mungkin benar apa yang pernah diungkap oleh guru saya: khilafah itu akan tegak, ketika khilafah sudah tegak dalam hati setiap muslim. Alangkah, kapankan ini akan terjadi? Semoga tak lama lagi. Semoga kita menjadi bagian dari perjuangan panjang ini.

Novel ini semakin menarik karena tidak hanya berkisah tentang perang, kehilangan, perjuangan, kemenangan dan kekalahan yang datang silih berganti. Kisah kasih antara Basah Nurkandam, Basah Katib, Nuryasmin, Siti Fatmasari, dan Sofiyawati yang epik turut memberi rasa manis dan gurih sekaligus. Kita belajar bagaimana memaknai cinta, tidak menyalahkan rasa dan kesempatan untuk jatuh cinta, tapi mengajarkan keikhlasan dan ketegaran luar biasa untuk membangun cinta.

Cinta sejati, adalah memberi, bukan memaksakan diri untuk memiliki. Kemudian ditutup dengan peran manis yang dimainkan oleh kegagahan merapi yang menyimpan banyak misteri. Ingin tahu cerita lengkapnya? Baca sendiri!

Eh?

Kalau males baca, mending gabung RCO deh. #ReadingChallengeODOP ini helpful Buat siapapun yang suka mager baca buku. Buktinya? Lihat aku, sayang... Yang sudah berjuang,.. hayo, siapa ikutan nyanyi? :p

Oke, terima kasih tim RCO yang sudah memaksaku menyelesaikan membaca buku spesial ini. Untuk level selanjutnya, request dong bacaan wajibnya non fiksi aja. Bidang ekonomi gitu... Sekalian nih, lagi cari teman buat diskusi soal ekonomi di tengah pandemi.


Judul        : Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Penulis     : Ust. Salim A. Fillah
Penerbit   : Pro-U Media, Yogyakarta
Tahun       : 2019
Tebal         : 632 halaman
ISBN          : 978-623-7490-06-7

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©