Wajar, jika anak
usia lima tahun begitu dekat dan “lengket” dengan mamanya, sehingga tak
terpisahkan. Maka wajar pula jika keadaan terpaksa, ketika keduanya harus
berjauhan, ada drama merajuk dan tangisan yang tak bisa dihindari. Begitu pula
yang terjadi pada adikku, Afizah, ketika ditinggal ayah dan mamanya pergi haji.
Sebagian orang
tua menganggap bahwa anak kecil mudah dikendalikan tanpa melibatkan perasaan. “Mereka
masih kecil, belum bisa memilih dan memilah mana yang baik dan benar.” Kata mereka.
Benarkah demikian?
Faktanya, tidak.
Setiap anak memiliki ciri karakter sendiri. Menjadi orang tua dituntut
multitalenta. Sebagai dokter, psikolog, konsultan, sekaligus bodyguard,
mengerti dan memahami bagaimana menyikapi setiap anak dengan karakter dan
potensi yang berbeda. Ada anak yang mudah
dipengaruhi, maka orang tua harus terus memberi pengaruh baik agar potensinya
muncul dan ia bisa mengendalikannya dengan baik. Ada yang keras, tegas,
individualis, ada pula yang humanis, mudah bersosialisasi, menguasai bidang
tertentu, ada pula yang perlu motivasi tinggi untuk melakukan sesuatu.
Afizah termasuk
anak yang cukup “keras” dan tegas sejak kecil. Ia memiliki bakat prinsip yang
baik, tidak mudah goyah dengan pengaruh orang lain termasuk orang tuanya
sendiri. Jika sudah menolak sesuatu, maka tidak seorangpun bisa membuatnya
menerima tanpa drama. Butuh cara khusus untuk mendekatinya, membuatnya paham
tentang sesuatu. Yaitu dengan penjelasan yang baik, bahasa yang mudah
dimengerti dan intonasi rendah, serta penjelasan panjang kali lebar
berulang-ulang sehingga tidak ada miss komunikasi.
Hari Sabtu, 26
Agustus 2017 adalah hari pertamaku bersamanya sepanjang hari, setelah kemarin
dia sempat merajuk menelpon mamanya berkali-kali dan kucoba jelaskan posisinya
dengan globe. Saat bangun pagi, ia tidak lagi mencari mamanya. Tidak mau mandi,
cukup cuci muka dan berangkat sekolah. Tidak ada kegiatan bermain dan waktu
istirahat karena hari ini dia pulang pagi. Otomatis, pelajaran di sekolahnya
hanya mengaji, setelah itu pulang. Semua sekolah di kecamatan Ngoro pulang pagi
karena hari ini ada karnaval menyambut HUT RI. Jalanan depan toko sudah padat
sejak pagi. Menjelang siang, jalan samping rumah sudah ditutup untuk parkir
motor. Afizah baru mau makan nasi disuapi pengasuhnya setelah pulang sekolah pukul delapan. Pagi
hari sebelum berangkat hanya mau minum milo habis segelas.
Seharian menonton
karnaval, membuatnya lelah saat siang. Dia minta tidur. Kutemani sebentar di
kamar belakang. Dia baru bangun saat sore menjelang. Ditawari makan oleh
pengasuhnya tidak mau, nasi dengan lauk apapun tetap menolak. Tapi saat
ditawari mie, dia menerima. Pengasuhnya butuh persetujuanku untuk memberinya
mie. Kami memang tidak sembarangan memberinya makanan. Apalagi mie instan
dengan zat kimia tak terbilang. Aku sempat menimbang, daripada tidak makan sama
sekali, mungkin ada baiknya tetap diberi, minimal mie mengandung karbohidrat
penyusun energi. Aku mengingatkannya untuk memberi bumbu sedikit saja, jangan
sampai setengahnya. Kasihan lambung adik yang belum normal.
Ah, benar saja. Baru
dua suap, dia muntah. Sebentar reda, disuapi lagi, muntah lagi. Okey, stop
memberinya makanan. Kutawari minum, sedikit sekali dia minum setelah
kubersihkan tubuh dan kuganti pakaiannya.
Wajahnya pucat,
tapi tetap kusuguhkan senyum agar dia ikut merasa tenang. Kubesarkan hatinya,
bahwa semua baik-baik saja. Setelah itu kuajak dia istirahat, bercanda dan
perlahan wajahnya kembali ceria. Meski masih tampak pucat, tentu saja. Kutawari
nutrijel coklat yang kubuat saat pagi, dia mau.
Ah, nutrijel
memang penyelamat. Orang sakit saja masih bisa memakannya dengan lahap, apalagi
orang sehat, enak sih rasanya. Adik paling suka yang rasa coklat. Ini baik
untuk perutnya, selain mengenyangkan juga membuatnya “adem”, damai di perutnya.
Tidak ada mual dan muntah lagi, membuatku tenang. Bahkan kami sempat foto selfie. Hehe
Ajaibnya, sehari
ini dia tidak minta telpon mama atau ayahnya. Meski sakit mendera, tidak satu
kalimatpun kutawarkan untuk menelepon atau video call. Alhamdulillah, dia mulai
paham betapa jauh posisi ayah dan mamanya saat ini.
Tidak ada lagi
acara merajuk minta mamanya pulang saat itu juga. Ternyata, anak kecilpun perlu
pemahaman yang baik. Mereka suka merajuk, bermain drama, bukan hanya karena
mereka menuntut perhatian, tapi mereka butuh pemahaman, yaitu pemahaman yang
benar. Mereka tidak perlu dibohongi dengan penjelasan palsu. Justru ketika
mereka tahu apa dan bagaimana kejadian sebenarnya, pemahaman itu bisa diterima
dengan baik. Memang prosesnya tidak selalu mudah, tapi bisa. Adakalanya anak
harus dipaksa agar mengerti, membuatya menangis sementara. Tapi tidak mengapa,
setelah mengerti, kita tidak perlu menyusun kebohongan yang lain untuk menutupi
kebohongan sebelumnya, bukan?
Masih banyak PR
lain untuk adik, membuatnya paham untuk tidak menyalakan TV terlalu lama,
memperbanyak mengaji dan menghafal ayat suci, membuatnya tertarik belajar
menulis dan membaca (dia lebih mudah menerima pelajaran menghitung daripada
membaca), tapi semua butuh proses. Satu bulan penuh September nanti, semoga
lebih mudah dijalani.
Alhamdulillah,
sampai hari ini, Senin 28 Agustus 2017 adik tidak merajuk lagi. Makan sudah
mulai normal, mau makan buah dan camilan kesukaannya, mikako. Minum susu
seperti biasa. Semoga semua lancar sampai semua kembali seperti semula.
Ngoro, 28 Agustus 2017
3 comments:
Alhamdulillah, Fatih juga tak biasain gitu. Diberi pemahaman, bukan disuguhi kebohongan.
Nice sharing ifa..
Ndang mba
Ndang mba
Post a Comment