![]() |
Afizah |
Hari Jum’at, 25 Agustus 2017 kemarin, aku kembali ke Ngoro. Setelah selesai semua rangkaian acara wisuda dan menyiapkan dokumen pengambilan ijazah, ayah menjemput kami, aku dan ummi untuk segera kembali ke Jombang pada hari Rabu malam, 23 Agustus 2017, sehari setelah acara wisuda. Kasihan nenek ditinggal sendirian, juga rumah Om dan adik-adik, katanya. Di rumah hanya sehari, kumanfaatkan untuk membersihkan kamar dan rumah yang berdebu ditinggal selama seminggu.
Disinilah
kuhabiskan waktu sebelum menemukan pilihan terbaik untuk perjalanan
selanjutnya. Seperti yang pernah kutulis sebelumnya, selama musim haji ini aku
tinggal di rumah Om, adik dari ayah. Suami istri Om dan Tante pergi menunaikan
rukun Islam ke lima. Sementara di rumah, ada sepupu paling kecil yang baru
masuk TK. Afizah namanya, menurut ayah dan pengasuhnya, dia sempat demam pada
hari Rabu setelah ayah dan mamanya berangkat Haji. Tidak mau makan, tidurpun
tidak nyenyak.
Sampai
di Ngoro sekitar jam sepuluh, aku langsung menuju toko. Afizah ada di sana,
rupanya sedang tidur. Tidak biasanya dia tidur sepagi ini, untuk tidur siang
saja susah. Pasti ada sesuatu, aku yakin itu. Tubuhnya lemas ketika menyapaku,
cerianya lenyap entah kemana. Aku sedikit cemas. Tapi apa gunanya? Kecemasan bukan
solusi untuk saat ini.
Saat
bangun, kuberikan padanya bando berhias pita warna emas dan mahkota bunga-bunga,
dia tampak bahagia. Aku sedikit lega melihat senyumnya. Setelah itu bermain dan
bercanda seperti biasa. Sekitar waktu ashar, dia minta pulang, nonton TV dan minum susu. Pengasuh sepupunya yang tinggal di rumah sebelah bercerita bahwa sebelumnya adik susah tiur hingga tengah malam, minta ikut mama. tidak mau makan kecuali dua sampai tiga suap saja, bahkan Rabu sore sepeninggal ayah dan mamanya, perutnya terlihat besar, pertanda masuk angin.
Saat
sore menjelang, drama dimulai. Saat kuajak mandi, dia menolak. Malah memohon
untuk terus menonton TV. Tak lama kemudian, dia minta buang air, saat itulah
baru kutahu bahwa dia diare. Pasti karena kurang makan, kondisi tubuhnya tidak
seimbang, dan yang semakin jelas terlihat adalah, dia tampak stress, seolah
memikul beban berat karena Ayah dan Mamanya meninggalkannya di rumah. Setelah kuberi
minyak kayu putih, dan kutenangkan, dia mulai merajuk. minta apapun bersama mama.
Mau makan sama mama, mau tidur sama mama, mau ditemani mama, akhirnya minta
telpon dan video call mamanya. Karakternya yang tegas dan cenderung keras
membuat siapapun tidak bisa melarang atau meredakan emosinya.
Kakaknya
yang sudah SMP dan Umik (nenek dari pihak mamanya) mulai kuwalahan dan memilih
ambil jarak, membiarkan emosinya meledak sejenak. Begitu pula aku, memilih
untuk membereskan cucian yang mangkrak akibat
mesin cuci yang bermasalah sepeninggal Om dan Tante. Ah, masalah memang tak
perlu undangan untuk datang. Yang terpenting adalah tetap rileks dan
menyelesaikan dengan baik.
Selesai
membereskan cucian, kulihat adik masih menangis. Telpon mamanya tak lagi
diangkat. Aku paham, tante memilih tidak meladeni emosi adik karena tidak akan
menyelesaikan masalah. Kudekati adik yang masih menangis, “Adik belum capek
nangis?” Tanyaku sambal tersenyum. Tangisnya mulai reda. Aku melanjutkan, “Kalau
sudah capek, udahan dong nangisnya? Jelek tau nangis terus..” Dia masih
terisak.
“Adik
cantik, mana senyumnya?” Tanyaku. “Adik ngga bisa senyum…” Ujarnya sambal cemberut.
Aku dan kakaknya menahan tawa mendengar jawabannya.
“Ya
sudah, terserah kalau adik masih pengen nangis, lanjutkan sampai capek ya.”
Ujarku. Dia bersiap menangis lagi!
Kuambil
globe yang ada di rak buku. Kubersihkan dari debu. Lalu kubawa kehadapannya. “Adek
boleh nangis, tapi dengerin mbak ya? Mama bukan ngga mau sama adek, bukan ngga sayang.
Adek tau kan ayah sama mama pergi kemana?” “Pergi haji, tapi adek kepingin sama
mama…” rengeknya.
“Adek,
lihatlah, ini adek di Indonesia. Di Pulau Jawa. Tempat adek Labib dan Tazki
(sepupunya) ada di sini, di Jakarta, kelihatannya dekat tapi aslinya jauh
sekali, bisa seharian naik mobil. Sementara mama dan ayah lebih jauh lagi. Lihat,
pesawatnya harus melewati benua dan lautan yang luaaass..sekali. naik mobil ke
tempat ayah dan mama sekarang ngga cukup sehari, dek..”
Dia
diam, aku terus berdoa agar dia segera paham. Lalu sikapnya mulai cuek. Tangisnya
reda. “Adek harus sabar tunggu mama pulang, ya. Tunggu aja sambal belajar, ngaji,
main, sama kakak, sama mbak, senyum dong
dek..?” Ujarku berusaha memberinya semangat.
“Adek
ngga bisa senyum…” jawabnya sambal manyun. Aku tersenyum. Lalu kutinggalkan dia
bersama kakaknya. Membujuknya dalam kondisi seperti ini untuk makan adalah
tindakan sia-sia. Dia tidak akan mau walau sesuap.
Setelah
maghrib, baru kutawari dia untuk makan. Akhirnya mau juga, mungkin perutnya
terasa lapar. Hanya beberapa suap nasi dengan ayam goreng, dia tak mau lagi. Aku
tak mau memaksa, dia type anak yang paling tidak suka dipaksa. Kemudian kutawari
minum milo, dia mau. Kubuatkan segelas milo yang kemudian dihabiskannya hampir tiga
perempat gelas. Lumayan, batinku. Meski belum makan dengan porsi normal,
setidaknya tubuh dengan asupan makanan yang cukup tidak akan membuatnya drop.
Setelah
kuperhatikan cukup nyaman bermain dengan kakaknya, aku tinggalkan mereka di
rumah untuk ke toko. Pegawai om biasa agak kuwalahan menghadapi pengunjung saat
malam, atau setidaknya mereka tenang dan senang ditemani saat menghitung kas.
Saat
pulang, adek sudah tidur. Kata kakaknya sejak sekitar jam setengah sembilan tadi.
Setelah bersiap tidur, adik Valda, sepupu yang SMP (kakaknya Afizah) ikut naik Bersama
Nasywa (sepupu yang lain) untuk nonton film korea di laptop.kubiarkan mereka
sampai tertidur di lantai atas. Itu berarti Afizah sendirian di kamar lantai
bawah. Aku tak tega meminta Valda pindah tidur, dia pasti juga lelah seharian
ada kegiatan sekolah.
Entah
jam berapa, sayup kudengar teriakan, “Kakak… kakak…” Otak bawah sadarku
membangunkan dan berusaha menyadarkan bahwa itu suara Afizah. Tapi sejenak
kemudian menghilang. Membuatku ingin larut kembali dalam mimpi. Namun belum
sampai mata terpejam lagi, suara itu terulang. Aku meraih HP dan melihat jam,
angkanya menunjukkan 01.20 am. Masih dini hari, pikirku. Kemudian otakku
kembali disadarkan dengan teriakan adik, “Kakak….” Kali ini terdengar lebih
nyaring.
Segera
kutarik tubuh untuk menjangkau tangan Dek Valda di kasur sebelah. “Dek, dek…
Adek afizah manggilin kakak…” Dia menggeliat, lalu reflek bangun. “Iya mbak,”
tangannya mencari-cari kacamata. Setelah itu langsung turun menuju kamar adik
tidur. Aku kembali lelap hingga pagi.
Biasanya,
Afizah memanggil mama setiap bangun tidur. Kemudian semalam, dia memanggil kakaknya
tanpa rewel sama sekali. Mungkinkah ini karena dia mulai “paham” posisi dirinya
sendiri? Aku terus berdoa agar dia diberi pemahaman dan kesabaran dalam
menghadapi keadaan saat ini.
Tampak jelas bahwa stress bisa menyebabkan sakit fisik, bahkan pada anak kecil sekalipun. Kita tidak bisa mengabaikan perasaan dalam kejadian sehari-hari. Hati-hati, jika terlalu banyak beban pikiran, bisa bikin sakit.
0 comments:
Post a Comment