Monday, 28 August 2017

Stress Bisa Bikin Sakit

| |

Afizah

Hari Jum’at, 25 Agustus 2017 kemarin, aku kembali ke Ngoro. Setelah selesai semua rangkaian acara wisuda dan menyiapkan dokumen pengambilan ijazah, ayah menjemput kami, aku dan ummi untuk segera kembali ke Jombang pada hari Rabu malam, 23 Agustus 2017, sehari setelah acara wisuda. Kasihan nenek ditinggal sendirian, juga rumah Om dan adik-adik, katanya. Di rumah hanya sehari, kumanfaatkan untuk membersihkan kamar dan rumah yang berdebu ditinggal selama seminggu.


Disinilah kuhabiskan waktu sebelum menemukan pilihan terbaik untuk perjalanan selanjutnya. Seperti yang pernah kutulis sebelumnya, selama musim haji ini aku tinggal di rumah Om, adik dari ayah. Suami istri Om dan Tante pergi menunaikan rukun Islam ke lima. Sementara di rumah, ada sepupu paling kecil yang baru masuk TK. Afizah namanya, menurut ayah dan pengasuhnya, dia sempat demam pada hari Rabu setelah ayah dan mamanya berangkat Haji. Tidak mau makan, tidurpun tidak nyenyak.

Sampai di Ngoro sekitar jam sepuluh, aku langsung menuju toko. Afizah ada di sana, rupanya sedang tidur. Tidak biasanya dia tidur sepagi ini, untuk tidur siang saja susah. Pasti ada sesuatu, aku yakin itu. Tubuhnya lemas ketika menyapaku, cerianya lenyap entah kemana. Aku sedikit cemas. Tapi apa gunanya? Kecemasan bukan solusi untuk saat ini.

Saat bangun, kuberikan padanya bando berhias pita warna emas dan mahkota bunga-bunga, dia tampak bahagia. Aku sedikit lega melihat senyumnya. Setelah itu bermain dan bercanda seperti biasa. Sekitar waktu ashar, dia minta pulang, nonton TV dan minum susu. Pengasuh sepupunya yang tinggal di rumah sebelah bercerita bahwa sebelumnya adik susah tiur hingga tengah malam, minta ikut mama. tidak mau makan kecuali dua sampai tiga suap saja, bahkan Rabu sore sepeninggal ayah dan mamanya, perutnya terlihat besar, pertanda masuk angin.

Saat sore menjelang, drama dimulai. Saat kuajak mandi, dia menolak. Malah memohon untuk terus menonton TV. Tak lama kemudian, dia minta buang air, saat itulah baru kutahu bahwa dia diare. Pasti karena kurang makan, kondisi tubuhnya tidak seimbang, dan yang semakin jelas terlihat adalah, dia tampak stress, seolah memikul beban berat karena Ayah dan Mamanya meninggalkannya di rumah. Setelah kuberi minyak kayu putih, dan kutenangkan, dia mulai merajuk. minta apapun bersama mama. Mau makan sama mama, mau tidur sama mama, mau ditemani mama, akhirnya minta telpon dan video call mamanya. Karakternya yang tegas dan cenderung keras membuat siapapun tidak bisa melarang atau meredakan emosinya.

Kakaknya yang sudah SMP dan Umik (nenek dari pihak mamanya) mulai kuwalahan dan memilih ambil jarak, membiarkan emosinya meledak sejenak. Begitu pula aku, memilih untuk membereskan cucian yang mangkrak akibat mesin cuci yang bermasalah sepeninggal Om dan Tante. Ah, masalah memang tak perlu undangan untuk datang. Yang terpenting adalah tetap rileks dan menyelesaikan dengan baik.

Selesai membereskan cucian, kulihat adik masih menangis. Telpon mamanya tak lagi diangkat. Aku paham, tante memilih tidak meladeni emosi adik karena tidak akan menyelesaikan masalah. Kudekati adik yang masih menangis, “Adik belum capek nangis?” Tanyaku sambal tersenyum. Tangisnya mulai reda. Aku melanjutkan, “Kalau sudah capek, udahan dong nangisnya? Jelek tau nangis terus..” Dia masih terisak.

“Adik cantik, mana senyumnya?” Tanyaku. “Adik ngga bisa senyum…” Ujarnya sambal cemberut. Aku dan kakaknya menahan tawa mendengar jawabannya.

“Ya sudah, terserah kalau adik masih pengen nangis, lanjutkan sampai capek ya.” Ujarku. Dia bersiap menangis lagi!

Kuambil globe yang ada di rak buku. Kubersihkan dari debu. Lalu kubawa kehadapannya. “Adek boleh nangis, tapi dengerin mbak ya? Mama bukan ngga mau sama adek, bukan ngga sayang. Adek tau kan ayah sama mama pergi kemana?” “Pergi haji, tapi adek kepingin sama mama…” rengeknya.

“Adek, lihatlah, ini adek di Indonesia. Di Pulau Jawa. Tempat adek Labib dan Tazki (sepupunya) ada di sini, di Jakarta, kelihatannya dekat tapi aslinya jauh sekali, bisa seharian naik mobil. Sementara mama dan ayah lebih jauh lagi. Lihat, pesawatnya harus melewati benua dan lautan yang luaaass..sekali. naik mobil ke tempat ayah dan mama sekarang ngga cukup sehari, dek..”

Dia diam, aku terus berdoa agar dia segera paham. Lalu sikapnya mulai cuek. Tangisnya reda. “Adek harus sabar tunggu mama pulang, ya. Tunggu aja sambal belajar, ngaji, main, sama kakak, sama  mbak, senyum dong dek..?” Ujarku berusaha memberinya semangat.

“Adek ngga bisa senyum…” jawabnya sambal manyun. Aku tersenyum. Lalu kutinggalkan dia bersama kakaknya. Membujuknya dalam kondisi seperti ini untuk makan adalah tindakan sia-sia. Dia tidak akan mau walau sesuap.

Setelah maghrib, baru kutawari dia untuk makan. Akhirnya mau juga, mungkin perutnya terasa lapar. Hanya beberapa suap nasi dengan ayam goreng, dia tak mau lagi. Aku tak mau memaksa, dia type anak yang paling tidak suka dipaksa. Kemudian kutawari minum milo, dia mau. Kubuatkan segelas milo yang kemudian dihabiskannya hampir tiga perempat gelas. Lumayan, batinku. Meski belum makan dengan porsi normal, setidaknya tubuh dengan asupan makanan yang cukup tidak akan membuatnya drop.

Setelah kuperhatikan cukup nyaman bermain dengan kakaknya, aku tinggalkan mereka di rumah untuk ke toko. Pegawai om biasa agak kuwalahan menghadapi pengunjung saat malam, atau setidaknya mereka tenang dan senang ditemani saat menghitung kas.

Saat pulang, adek sudah tidur. Kata kakaknya sejak sekitar jam setengah sembilan tadi. Setelah bersiap tidur, adik Valda,  sepupu yang SMP (kakaknya Afizah) ikut naik Bersama Nasywa (sepupu yang lain) untuk nonton film korea di laptop.kubiarkan mereka sampai tertidur di lantai atas. Itu berarti Afizah sendirian di kamar lantai bawah. Aku tak tega meminta Valda pindah tidur, dia pasti juga lelah seharian ada kegiatan sekolah.

Entah jam berapa, sayup kudengar teriakan, “Kakak… kakak…” Otak bawah sadarku membangunkan dan berusaha menyadarkan bahwa itu suara Afizah. Tapi sejenak kemudian menghilang. Membuatku ingin larut kembali dalam mimpi. Namun belum sampai mata terpejam lagi, suara itu terulang. Aku meraih HP dan melihat jam, angkanya menunjukkan 01.20 am. Masih dini hari, pikirku. Kemudian otakku kembali disadarkan dengan teriakan adik, “Kakak….” Kali ini terdengar lebih nyaring.

Segera kutarik tubuh untuk menjangkau tangan Dek Valda di kasur sebelah. “Dek, dek… Adek afizah manggilin kakak…” Dia menggeliat, lalu reflek bangun. “Iya mbak,” tangannya mencari-cari kacamata. Setelah itu langsung turun menuju kamar adik tidur. Aku kembali lelap hingga pagi.


Biasanya, Afizah memanggil mama setiap bangun tidur. Kemudian semalam, dia memanggil kakaknya tanpa rewel sama sekali. Mungkinkah ini karena dia mulai “paham” posisi dirinya sendiri? Aku terus berdoa agar dia diberi pemahaman dan kesabaran dalam menghadapi keadaan saat ini. 

Tampak jelas bahwa stress bisa menyebabkan sakit fisik, bahkan pada anak kecil sekalipun. Kita tidak bisa mengabaikan perasaan dalam kejadian sehari-hari. Hati-hati, jika terlalu banyak beban pikiran, bisa bikin sakit.

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©