Musim haji
adalah musim pencarian gelar. Di Indonesia, orang-orang yang pulang dari
menunaikan ibadah haji biasa dipanggil “Pak Haji, Bu Haji, Wak Kaji, Haji…dsb”.
Gelar dunia yang bisa diperoleh hanya dalam waktu sekitar seminggu! Tentu saja,
jauh lebih singkat daripada gelar Sarjana, Dokter, Insinyur, atau Komandan yang
baru bisa diperoleh setelah empat tahun.
Haji adalah
rukun Islam ke lima. Empat yang pertama adalah syahadat, sholat, puasa, dan
zakat. Tapi mengapa orang yang sudah mengikrarkan syahadat tidak dipanggil
dengan sebutan “Syahadat Rizky,” misalnya. Atau orang-orang yang sudah
menunaikan shalat lima waktu dipanggil dengan “shalat Andre,” mungkin?
Kesannya
sangat tidak adil, kan? Seminggu atau maksimal empat puluh hari (lamanya jamaah
haji tinggal di tanah suci) dibanding dengan kuliah selama empat tahun. Padahal,
para sarjana itu setelah wisuda tetap dipanggil dengan nama aslinya. Tidak umum
di masyarakat kita memanggil dengan “Sarjana Peternakan Yusuf,” misalnya. Atau “Sarjana
Teknik Syaiful”, aneh kan? Hanya beberapa profesi yang dipanggil sesuai
gelarnya, seperti dokter, sedangkan seperti Bidan, Perawat, dipanggil sesuai
profesinya, bukan atas gelar akademik. Semakin aneh, bukan?
Satu-satunya
motif logis orang merasa bahwa “haji” layak dijadikan gelar panggilan dalam
masyarakat adalah motif ekonomi. Coba jika kita perhatikan, untuk mendaftar
haji seseorang butuh puluhan juta. Belum lagi untuk persiapan berangkat, mulai
dari tasyakuran, membeli perlengkapan sebagai bekal, pasti butuh puluhan juta
(lagi). Jika dihitung bersama uang saku, biaya hidup, sampai oleh-oleh ketika
kembali, orang yang menunaikan ibadah haji (selama satu minggu menunaikan rukun
haji atau 40 hari sejak berangkat hingga pulang lagi) butuh harta, fisik dan mental
yang luar biasa untuk menyelesaikannya.
Sehingga masyarakat
kita menganggap panggilan “Haji” perlu disematkan sebagai nama depan meski
diperoleh dengan sangat singkat tanpa proses administrasi layaknya gelar
akademik.
Namun demikian,
kita perlu ingat kembali bahwa haji merupakan kewajiban setiap muslim, bagian
dari rukun islam yang harus ditunaikan, sekaligus ibadah paling istimewa karena
dengannya setiap muslim harus mengunjungi baitullah, rumahNya di tanah haram
yang dimuliakan Allah. di sana, jamaah haji bisa bertemu dan berkumpul dengan umat Islam yang berasal dari seluruh penjuru dunia. Bagaimanapun, setiap jamaah haji harus menjaga
keikhlasan niat dan tujuan menunaikan haji. Jangan sampai menunaikan ibadah
haji, menghabiskan banyak harta benda, Lelah fisik dan mental sekaligus, semua
hanya karena seucap gelar di masyarakat. Alangkah rugi seorang muslim yang
demikian, menganggap bahwa penyematan gelar haji adalah yang paling penting
dari serangkaian ibadah yang sudah menjadi kewajiban.
Mari kita
jaga baik-baik niat untuk melaksanakan rukun islam kelima semata karena Allah,
bukan karena derajat dunia atau pandangan sesama. Sungguh, kita akan rugi jika
akhirnya pahala haji terhapus begitu saja karena adanya unsur riya’ atau
sombong yang terbawa selama menunaikannya. Yang penting, niat itu perlu dijaga
dengan sangat baik. Urusan kita (yang belum sempat menunaikan ibadah haji)
diizinkan untuk berangkat kapan, biar menjadi hak prerogative Allah untuk memutuskannya.
Urusan kita adalah memantapkan niat, berusaha dan terus berdo’a. semoga Allah
perkenankan kita sempurnakan rukun islam selama hidup di dunia. Aamiin.
1 comments:
Uda jos tapi 5w + 1h nya harus lengkap biar tmbh mantep
Post a Comment